Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
bendera Mali (pexels.com/aboodi)
bendera Mali (pexels.com/aboodi)

Intinya sih...

  • AS menunjukkan fleksibilitas dalam kebijakannya dengan Mali

  • AS mengembalikan kebijakan visa bagi warga Mali sebagai upaya memperbaiki hubungan diplomatik.

  • Tingginya risiko keamanan dan krisis bahan bakar minyak di Mali menjadi alasan utama.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Amerika Serikat (AS), pada Minggu (26/10/2025), menghapus Mali dari kebijakan membayar jaminan pembuatan visa bagi warga Mali hingga 15 ribu dolar AS (Rp248,7 juta). Keputusan ini sebagai bentuk untuk memperbaiki hubungan diplomatik antara AS dan Mali. 

Pekan lalu, Kementerian Luar Negeri AS memutuskan untuk mengharuskan warga dari enam negara di Afrika, termasuk Mauritania, Sao Tome dan Principe, Tanzania, Gambia, Malawi, dan Zambia untuk membayar jaminan. Uang tersebut akan dikembalikan jika warga meninggalkan AS sesuai tenggat waktu. 

Menanggapi kebijakan AS, junta militer Mali memutuskan untuk menetapkan kebijakan balasan. Mali sudah mengharuskan warga AS membayar jaminan pembuatan visa sebesar 10 ribu dolar AS (Rp166 juta). 

1. AS menunjukkan fleksibilitas dalam kebijakannya dengan Mali

Bendera Amerika Serikat. (unsplash.com/mck)

Kebijakan balasan dari Mali ini menimbulkan ketegangan hubungan diplomatik dengan AS. Namun, Washington menunjukkan fleksibilitas dari kebijakannya usai mendapat reaksi balasan dari Mali. 

Dilansir Business Insider Africa, sikap AS ini menunjukkan keinginan untuk memperbaiki hubungan dengan Mali. Pada Juli 2025, Wakil Asisten Sekretaris AS, William B Stevens sudah berkunjung ke Bamako untuk mendiskusikan kerja sama keamanan dan hubungan ekonomi. 

Pengembalian kebijakan ini memperlihatkan AS ingin menurunkan tensi dengan negara-negara Afrika imbas kebijakan imigrasi. Terdapat kemungkinan untuk membuka kerangka kebijakan visa AS di seluruh Afrika. 

2. AS memperbolehkan diplomat non-esensial di Mali pulang

Pada saat yang sama AS sudah mengotorisasi untuk pemulangan staf diplomatik non-esensial dan anggota keluarganya dari Mali. Keputusan ini melihat tingginya risiko keamanan dan semakin parahnya krisis bahan bakar minyak (BBM) di Mali. 

“Gangguan yang terus terjadi dan tidak diduga soal ketersediaan BBM dan solar berdampak besar di seluruh kota di Mali, termasuk di Bamako. Ini berpotensi besar mengganggu situasi keamanan di Mali yang semakin tidak dapat diprediksi,” ungkapnya. 

Langkah AS ini menunjukkan semakin dalamnya instabilitas di Mali. Terdapat kombinasi kekerasan dari kelompok jihadis, isoliasi politik, dan ketegangan ekonomi yang semakin memicu situasi yang rapuh. 

3. Mali alihkan produksi paspor biometrik dari Prancis ke China

Pekan lalu, Mali memutuskan untuk mengalihkan produksi paspor biometrik dari perusahaan Prancis, IDEMIA ke perusahaan China, EMPTECH. Keputusan ini karena junta militer lebih mempercayakan pada desain paspor dari perusahaan China tersebut. 

Dilansir APA News, transisi ini dilakukan menyusul ketegangan hubungan diplomatik antara Prancis dan Mali. Selain itu, Mali menuding perusahaan Prancis itu menolak untuk mentransfer teknologi dan data biometrik dari sistem paspor nasional. 

Sementara itu, EMPTECH yang berbasis di Shenzhen, China itu memang dikenal sebagai perusahaan pembuat kartu pintar, keamanan digital, dan sistem biometrik, serta desain paspor. Perusahaan yang dibangun pada 1995 itu sudah berada di 60 negara untuk menyuplai sistem paspor elektronik. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team