Warga Palestina mengungsi dari Gaza Utara. (x.com/@UNRWA)
Kendati, penjualan senjata yang diusulkan masih menunggu persetujuan kongres. Pasokan senjata tersebut mencakup rudal udara-ke-udara AIM-120C-8 AMRAAM untuk jet tempur, peluru artileri 155mm, bom berdiameter kecil, hulu ledak seberat 500 pon, sekring bom, dan peralatan terkait lainnya, tambah laporan itu.
Penjualan tersebut dilaporkan akan melibatkan pengiriman amunisi dari persediaan AS saat ini, sementara sebagian besar lainnya akan membutuhkan waktu satu tahun atau lebih untuk diproduksi dan dikirim.
Sementara, Departemen Luar Negeri AS tidak segera menanggapi permintaan komentar Anadolu.
AS menghadapi kritik karena memberikan bantuan militer kepada Israel setelah lebih dari 45.650 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, tewas mengenaskan di Jalur Gaza sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Sementara, sekitar 1.200 orang diklaim tewas dalam serangan lintas perbatasan yang dipimpin Hamas saat itu.
Beberapa kelompok hak asasi manusia, mantan pejabat Departemen Luar Negeri, dan anggota parlemen Demokrat telah mendesak pemerintahan Biden menghentikan pengiriman senjata ke Israel, dengan pertimbangan pelanggaran hukum AS, termasuk Undang-Undang Leahy, serta hukum internasional dan hak asasi manusia. Namun, Israel membantah tuduhan itu.
Undang-Undang Leahy, yang dinamai menurut mantan Senator Patrick Leahy, mewajibkan AS menahan bantuan militer dari unit militer atau penegakan hukum asing, jika ada bukti kuat pelanggaran hak asasi manusia.
Kendati, Biden sempat menghentikan pengiriman 1.800 bom seberat 2 ribu pon (907 kilogram) dan 1.700 bom seberat 500 pon (227 kilogram) ke Israel pada Mei 2024, karena serangannya di kota Rafah di Gaza selatan dengan alasan korban sipil di daerah kantong itu sebagai akibat dari bom tersebut.
Namun, pada Juli tahun lalu, Biden memutuskan melanjutkan pengiriman bom seberat 500 pon (227 kilogram) ke Israel, setelah jeda selama dua bulan.
Aliran peralatan militer lainnya ke Israel terus berlanjut, termasuk jet tempur senilai 20 miliar US dolar (Rp324 triliun) dan perlengkapan militer lainnya yang disetujui Departemen Luar Negeri pada Agustus.