Beijing, IDN Times - Abdul Amin Jin Rubin tersenyum ketika saya menanyakan latar belakang hidupnya. "Saya sudah sering diwawancarai dan menerima kunjungan jurnalis. Belum ada yang bertanya tentang diri saya," kata wakil presiden asosiasi Islam di Tiongkok (China Islamic Association) itu, ketika delegasi jurnalis dari Indonesia dan Malaysia menemuinya, Senin (18/2).
Kunjungan ini diselenggarakan oleh Grup Penerbit Internasional China (CIPG).
"Saya berasal dari Provinsi Yunnan, dan mulai sekolah dasar pada tahun 1986, di Kunming, ibukota Yunnan," kata Abdul.
Yunnan adalah provinsi di sebelah barat daya Tiongkok. Di provinsi ini tinggal cukup banyak kelompok etnis, 25 etnis dari lebih 50 etnis yang ada di Tiongkok.
Abdul melanjutkan, sekolah ke Institut Islam di China untuk mempelajari Islam klasik. Dia kemudian berkarier sebagai guru bahasa Arab. "Tahun 1993 saya dikirim belajar di Universitas Mesir selama 3 bulan," tuturnya.
Kembali dari Mesir, Abdul diminta menjadi pelatih bagi para imam masjid. Kariernya di lingkungan asosiasi Islam menanjak sampai ke level direktur untuk pelatihan imam di institut Islam, pula di asosiasi.
Tahun 2018 Abdul dipilih menjadi wakil presiden asosiasi untuk mewakili Kongres Rakyat Nasional.
Bagi Abdul, Tragedi Berdarah di Stasiun Kereta Api Kunming, kota kelahirannya, meninggalkan bekas mendalam.
"Kami menyebutnya Tragedi 1 Maret. Tragedi berdarah," ujar dia.
Sejak itu, semangat Abdul memerangi aksi jihad yang dianggap salah arah, sejalan dengan upaya pemerintahan Presiden Xi Jinping memberangus aksi-aksi yang dianggap berkaitan dengan terorisme dan ekstrimisme.
Berikut jawaban Abdul atas sejumlah isu berkaitan dengan kehidupan Islam di Tiongkok dan respons Majelis Ulama Indonesia (MUI).