Polisi mengatakan Marangach menyelinap ke rumah Cheptegei dekat perbatasan dengan Uganda pada Minggu sore saat dia berada di gereja bersama kedua anaknya.
Laporan polisi mengatakan bahwa mereka adalah pasangan yang "sering kali mengalami pertengkaran keluarga". Ayahnya, Joseph Cheptegei, mengatakan kepada wartawan pada Kamis bahwa rumah tempat dia tinggal bersama saudara perempuannya dan dua putrinya adalah "sumber masalah" antara Rebecca dan Marangach.
Dia mengatakan kepada media Kenya awal pekan ini bahwa Marangach telah membeli lima liter bensin dan bersembunyi di kandang ayam sebelum menyerang.
"Dia menyiramkan bensin dan membakarnya. Ketika dia memanggil saudarinya untuk meminta bantuan, dia mengancamnya dengan parang dan membuatnya lari."
Surat kabar The Standard di Kenya melaporkan bahwa putri Cheptegei menyaksikan serangan itu.
Salah satu putri Cheptegei melaporkan bahwa saat dia berusaha menyelamatkan ibunya, dia ditendang, kemudian berteriak meminta tolong. Teriakannya menarik perhatian tetangga yang berusaha memadamkan api dengan air, namun usaha itu tidak berhasil.
Serangan ini kembali menyoroti kekerasan dalam rumah tangga di Kenya.
Njeri Wa Migwi, pendiri Usikimye, sebuah organisasi yang melawan kekerasan berbasis gender, mengatakan tentang kematian Cheptegei: "Ya, ini adalah Femisida. Kita harus menghentikan Femisida."
Dilansir AFP, serangan ini terjadi dua tahun setelah atlet kelahiran Kenya, Damaris Mutua, ditemukan tewas di Iten, pusat lari terkenal di Lembah Rift.
Dan pada tahun 2021, pelari rekor Kenya Agnes Tirop, 25, ditemukan tewas dengan luka tusukan di rumahnya di Iten. Suaminya yang terasing sedang diadili atas tuduhan pembunuhan dan telah membantah tuduhan tersebut.
Joan Chelimo, atlet dan salah satu pendiri Tirop's Angels, sebuah kelompok yang didirikan untuk melawan kekerasan berbasis gender setelah kematian Tirop, mengatakan dia "sangat terguncang dan marah" atas serangan terhadap Cheptegei.
"Kekerasan tidak masuk akal ini harus dihentikan."
Angka terbaru dari Biro Statistik Nasional Kenya yang diterbitkan pada Januari 2023 menemukan bahwa 34 persen perempuan mengalami kekerasan fisik sejak usia 15 tahun.
Pada tahun 2022 saja, Kenya mencatat 725 kasus femisida, menurut laporan PBB, angka tertinggi sejak pengumpulan data dimulai pada tahun 2015.