Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi bendera Amerika Serikat. (unsplash.com/Brandon Mowinkel)
ilustrasi bendera Amerika Serikat. (unsplash.com/Brandon Mowinkel)

Intinya sih...

  • Shutdown pemerintah AS bisa berakhir lewat kesepakatan anggaran sementara atau Continuing Resolution (CR).

  • Salah satu pihak harus mengalah atas tuntutannya karena tekanan politik yang tak tertahankan.

  • Gangguan akibat shutdown semakin parah dengan penutupan layanan penting dan krisis kemanusiaan bagi pegawai federal yang dirumahkan tanpa gaji.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah federal Amerika Serikat (AS) mengalami shutdown atau penutupan layanan, setelah Kongres gagal menyepakati anggaran baru. Kondisi ini memaksa pemerintah untuk menghentikan sementara berbagai layanan non-esensial karena kebuntuan politik antara Partai Demokrat dan Republik terkait perbedaan prioritas, khususnya menyangkut kebijakan layanan kesehatan.

Meskipun situasi ini tampak buntu, setiap shutdown biasanya akan berakhir. Penyelesaiannya bergantung pada manuver legislatif dan tekanan politik yang terus meningkat, yang pada akhirnya akan memaksa salah satu atau kedua pihak untuk berkompromi dan membuka kembali pemerintahan. Berikut empat skenario yang dapat mengakhiri shutdown pemerintah AS.

1. Solusi cepat lewat kesepakatan anggaran sementara

protes shutdown di depan Gedung Putih pada 2019. (AFGE, CC BY 2.0 <https://creativecommons.org/licenses/by/2.0>, via Wikimedia Commons)

Solusi paling umum dan tercepat untuk mengakhiri kebuntuan adalah melalui pengesahan Resolusi Berkelanjutan atau Continuing Resolution (CR). Resolusi ini pada dasarnya adalah undang-undang pendanaan jangka pendek yang berfungsi seperti tombol jeda untuk memberi dana bagi pemerintah agar bisa beroperasi kembali selama beberapa minggu.

CR merupakan jalan keluar yang paling sering digunakan untuk mengatasi shutdown. Sejak tahun 1990, setiap penutupan pemerintahan di AS selalu diakhiri dengan mekanisme ini, yang tujuannya memberi ruang bagi para politisi melanjutkan negosiasi anggaran yang lebih detail tanpa harus melumpuhkan layanan publik.

Selain itu, ada juga opsi lain seperti "Omnibus Bill", sebuah paket anggaran komprehensif yang bisa mendanai pemerintah selama sisa tahun fiskal, tapi sangat sulit dicapai dalam waktu singkat. Opsi lainnya adalah "mini-bills", yaitu meloloskan serangkaian RUU kecil untuk mendanai lembaga-lembaga paling krusial secara bertahap, seperti pertahanan atau layanan veteran, dilansir Newsweek.

Pada akhirnya, shutdown baru benar-benar berakhir ketika Kongres, baik DPR maupun Senat, berhasil meloloskan salah satu jenis RUU pendanaan tersebut. RUU itu kemudian harus ditandatangani oleh Presiden untuk resmi menjadi undang-undang dan mengaktifkan kembali seluruh roda pemerintahan

2. Salah satu pihak mengalah atas tuntutannya

Di luar mekanisme legislatif, shutdown adalah pertarungan politik adu kuat yang baru akan selesai ketika salah satu pihak mengalah akibat tekanan yang sudah tak tertahankan. Tekanan ini biasanya muncul dari kemarahan publik, dampak ekonomi yang merugikan, serta gangguan layanan yang semakin meluas.

Salah satu skenario yang bisa terjadi adalah adanya pembelotan internal di salah satu partai. Beberapa politisi, terutama yang berasal dari negara bagian yang kompetitif (battleground states), mungkin akan memilih untuk berseberangan dengan partainya demi mengamankan posisi mereka di pemilu berikutnya.

Skenario lainnya adalah ketika salah satu partai secara kolektif memutuskan untuk mundur dari tuntutannya karena kerugian politik yang ditimbulkan sudah terlalu besar. Ini terjadi pada shutdown 2013, di mana Partai Republik akhirnya menyerah setelah 16 hari.

Ada pula kemungkinan pihak lawan yang justru memberikan konsesi sebagai jalan tengah. Dalam kasus ini, Partai Republik bisa saja menawarkan jaminan kepada Demokrat terkait tuntutan mereka soal subsidi asuransi kesehatan untuk memecah kebuntuan dan membuka kembali pemerintahan, dilansir BBC.

3. Gangguan akibat shutdown semakin parah

Tekanan politik sering kali memuncak akibat dampak nyata yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Dampak ini termasuk penutupan taman nasional dan museum, penundaan proyek riset federal, hingga terhambatnya layanan penting seperti proses pengurusan paspor.

Selain itu, penderitaan ratusan ribu pegawai federal yang dirumahkan tanpa gaji (furlough) menciptakan krisis kemanusiaan yang menambah tekanan. Walaupun mereka biasanya akan menerima gaji kembali setelah shutdown berakhir, ketidakpastian finansial ini menyulitkan banyak keluarga di AS.

Contohnya, saat shutdown terlama dalam sejarah AS pada 2018-2019, yang berlangsung selama 35 hari. Menurut Al Jazeera, penutupan itu akhirnya berakhir setelah terjadi kekacauan massal di sistem penerbangan nasional, di mana banyak petugas pengawas lalu lintas udara tidak masuk kerja karena sudah sebulan bekerja tanpa dibayar.

Gangguan penerbangan di bandara-bandara besar seperti LaGuardia di New York akhirnya menambah tekanan bagi Presiden Donald Trump saat itu. Hal ini memaksanya untuk menyetujui kesepakatan sementara yang membuka kembali pemerintahan selama tiga minggu, sembari negosiasi terkait tembok perbatasan terus dilanjutkan

4. Kedua partai tertekan kemarahan rakyat

Presiden AS, Donald Trump, dan mantan Presiden AS, Barack Obama. (DoD photo by U.S. Air Force Staff Sgt. Marianique Santos, Public domain, via Wikimedia Commons)

Jika shutdown berlarut-larut, ada kemungkinan publik tidak lagi peduli siapa yang benar atau salah, dan menyalahkan semua politisi yang menjabat. Dalam skenario ini, kemarahan pemilih tidak lagi tertuju pada satu partai, melainkan pada semua pejabat yang dianggap gagal menjalankan pemerintahan.

Kedua partai akan saling menyalahkan atas kebuntuan yang terjadi. Pihak yang dianggap memulai shutdown atau mengajukan tuntutan yang alot biasanya menanggung citra lebih buruk di mata publik, sehingga kedua pihak akan gencar bersuara di media sosial untuk memenangkan opini publik.

Misalnya, shutdown era Presiden Bill Clinton pada 1995-1996, mengakibatkan citra Partai Republik memburuk. Dilansir CNN, publik saat itu menganggap mereka mendatangkan malapetaka bagi pegawai federal dan warga sipil yang tidak bersalah demi kepentingan politik.

Pada akhirnya, penyelesaian sebuah shutdown ditentukan oleh kalkulasi politik kedua belah pihak. Negosiasi akan menemukan titik terang ketika salah satu atau kedua pihak menyadari bahwa melanjutkan kebuntuan akan lebih merusak prospek mereka di pemilu berikutnya dibandingkan dengan berkompromi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team