Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi palu hakim (unsplash.com/Tingey Injury Law Firm)
ilustrasi palu hakim (unsplash.com/Tingey Injury Law Firm)

Jakarta, IDN Times - Belgia dinyatakan bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan karena mengambil secara paksa lima anak ras campuran dari ibu mereka di Kongo pada era kolonial. Brussels pun dituntut untuk membayar ganti rugi kepada para penggugat.

Kasus ini diajukan oleh Simone Ngalula, Monique Bitu Bingi, Lea Tavares Mujinga, Noelle Verbeeken dan Marie-Jose Loshi. Kelima perempuan tersebut lahir dari ibu Kongo dan ayah berkebangsaan Eropa antara 1946-1950, saat Kongo masih dijajah oleh Belgia. Mereka dipisahkan dari ibu mereka saat masih kecil, dan dikirim ke lembaga Katolik karena latar belakang ras campuran mereka.

“Pengadilan memerintahkan Belgia untuk memberikan kompensasi kepada para penggugat atas kerusakan moral akibat hilangnya hubungan mereka dengan ibu mereka dan kerusakan identitas serta hubungan mereka dengan lingkungan aslinya,” kata pengadilan banding Belgia dalam putusan pada Senin (2/12/2024).

Pengadilan tersebut memerintahkan negara untuk membayar ganti rugi sebesar sekitar Rp836 juta kepada masing-masing penggugat. Selain itu, pemerintah juga harus membayar biaya hukum sebesar lebih dari 1 juta euro (sekitar Rp16 miliar).

1. Menjadi putusan bersejarah

Kelima perempuan tersebut, yang kini berusia 70-an tahun, mengajukan banding setelah kalah dalam gugatan di pengadilan yang lebih rendah pada 2021. Pengadilan tingkat pertama memihak pemerintah Belgia dan menyatakan bahwa pemindahan paksa yang mereka alami bukanlah kejahatan pada era kolonial.

Pengadilan banding menolak argumen tersebut, dengan menyatakan bahwa pemindahan paksa adalah tindakan yang tidak manusiawi serta bentuk penindasan yang tergolong sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan statuta pengadilan Nuremberg yang diakui oleh Majelis Umum PBB pada 1946. Belgia sendiri merupakan salah satu negara yang menandatangani perjanjian tersebut.

Michele Hirsch, salah satu pengacara penggugat, mengatakan bahwa putusan pada Senin merupakan kemenangan dan keputusan bersejarah.

"Ini adalah pertama kalinya di Belgia dan mungkin di Eropa pengadilan mengutuk negara kolonial Belgia atas kejahatan terhadap kemanusiaan," katanya kepada media lokal.

2. Keadilan telah ditegakkan

Monique Bitu Bingi, yang dipisahkan dari ibunya saat berusia 3 tahun, mengatakan bahwa keadilan telah ditegakkan.

“Saya lega. Para hakim telah mengakui bahwa ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan," katanya kepada The Guardian.

Noelle Verbeken, yang ditempatkan 500 km jauhnya dari tempat asalnya, juga akhirnya dapat bernapas lega.

“Keputusan ini menunjukkan bahwa kami memiliki nilai tertentu di dunia. Kami diakui," ungkapnya.

Para penggugat mengatakan bahwa mereka dibawa ke lembaga Katolik dan tinggal di sana sampai Belgia meninggalkan wilayah kolonialnya tersebut pada 1960.

Beberapa dekade kemudian, empat dari perempuan tersebut memperoleh kewarganegaraan Belgia setelah melalui proses hukum yang panjang. Marie-Jose Loshi tidak pernah diberikan kewarganegaraan Belgia dan akhirnya menetap di Prancis, di mana dia memperoleh kewarganegaraan. 

3. Jumlah korban diperkirakan mencapai 15 ribu orang

Kasus ini adalah kasus pertama yang mengungkap nasib anak-anak yang terlahir dari pasangan campuran selama penjajahan Belgia di Afrika. Pada masa itu, pemerintah kolonial menganggap anak-anak ras campuran sebagai ancaman terhadap tatanan supremasi kulit putih. Mereka tidak diizinkan untuk diakui oleh ayah mereka atau berbaur dengan masyarakat kulit putih.

Setibanya di lembaga Katolik, anak-anak tersebut didaftarkan sebagai mulatto, istilah ofensif untuk menggambarkan seseorang yang berasal dari orang tua campuran. Identitas ayah mereka tercatat sebagai tidak diketahui dalam daftar tersebut. Mereka juga diberikan nama keluarga baru, dan tanggal lahir mereka terkadang dipalsukan.

Di lembaga tersebut, mereka diberitahu bahwa mereka adalah anak-anak dosa. Mereka juga menerima sedikit jatah makanan dan perawatan minim dari para biarawati, yang merasa keberatan harus merawat mereka.

Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah anak yang terdampak oleh kebijakan kolonial ini, namun para ahli memperkirakan jumlahnya mencapai 15 ribu orang.

Pada 2018, Perdana Menteri Belgia saat itu, Charles Michel, meminta maaf atas perlakuan terhadap anak-anak dari pasangan campuran, dengan mengatakan bahwa negara telah melanggar hak asasi dasar mereka. Pemerintah juga membentuk badan resmi untuk membantu mereka yang dipisahkan dari orang tuanya untuk menelusuri asal-usul mereka di arsip kolonial. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorFatimah