Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi bendera Palestina. (unsplash.com/Ömer Yıldız)

Jakarta, IDN Times - Hamas mengecam keputusan Israel menunda pembebasan lebih dari 600 tahanan Palestina. Mereka mengklaim Israel yang mengatakan bahwa upacara penyerahan tawanan itu memalukan, sebuah kesalahan, dan hanya dalih untuk menghindari kewajiban Tel Aviv berdasarkan perjanjian gencatan senjata Gaza.

Seorang pemimpin senior Hamas, Mahmoud Mardawi, mengatakan bahwa Hamas tidak akan melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan Israel melalui para mediator, hingga Israel membebaskan 620 tahanan Palestina yang seharusnya dibebaskan pada Sabtu (22/2/2025).

Israel menunda pembebasan ratusan tahanan Palestina yang telah dijadwalkan tersebut, setelah Hamas menegakkan kesepakatan gencatan senjata dengan membebaskan 6 tawanan Israel dari Gaza. Keenam orang tersebut adalah kelompok tawanan hidup terakhir yang dibebaskan di bawah fase pertama gencatan senjata, Al Jazeera melaporkan.

1. Israel membuat keputusan sepihak

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (instagram.com/Benjamin Netanyahu - בנימין נתניהו)

Israel menunda pembebasan tersebut hingga mendapat jaminan bahwa Hamas menghentikan apa yang disebut Israel sebagai serah terima tawanan yang memalukan.

Kantor Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan bahwa pembebasan warga Palestina akan ditunda sampai Hamas mengakhiri upacara penghinaan saat membebaskan tawanan Israel. Hamas juga disebut mengajukan tuntutan baru yang tidak disebutkan dalam perjanjian gencatan senjata.

"Mengingat pelanggaran berulang yang dilakukan Hamas, termasuk upacara memalukan yang tidak menghormati sandera kami dan penggunaan sandera secara sinis untuk propaganda, telah diputuskan untuk menunda pembebasan teroris yang direncanakan pada Sabtu hingga pembebasan sandera berikutnya dipastikan, tanpa upacara yang memalukan," kata kantor Netanyahu.

2. Hamas desak mediator agar Israel patuhi kesepakatan gencatan senjata

Terkait keputusan sepihak Israel, Hamas menuduh Netanyahu memainkan permainan kotor untuk menyabotase dan merusak kesepakatan tersebut.

"Upacara serah terima tahanan tidak termasuk penghinaan apapun terhadap mereka, namun justru mencerminkan perlakukan manusiawi yang mulia terhadap mereka," kata Hamas.

Anggota biro politik Hamas Basem Naim mengungkapkan bahwa dialog lebih lanjut akan sangat bergantung pada pembebasan 620 tahanan Palestina sesuai kesepakatan. Ia juga mendesak para mediator, terutama Amerika Serikat (AS), untuk menekan Israel agar segera membebaskan para tahanan Palestina.

"Para mediator harus memastikan bahwa pihak musuh mematuhi ketentuan-ketentuan perjanjian seperti yang tercantum dalam teks yang telah disepakati," ujarnya.

Sejak gencatan senjata mulai berlaku pada 19 Januari, Hamas telah membebaskan 25 tawanan Israel dalam penyerahan yang mendapat sorotan publik. Kesepakatan gencatan senjata tidak secara tegas mendefinisikan bagaimana Hamas dan Israel harus membebaskan tawanan Israel dan tahanan Palestina.

3. Respons AS atas tindakan Israel

Ilustrasi bendera Amerika Serikat. (unsplash.com/Brandon Mowinkel)

Gedung Putih mendukung keputusan Israel untuk menunda pembebasan 620 tahanan Palestina. AS menilai Hamas telah melakukan perbuatan biadap terhadap tawanan Israel.

"Penundaan pembebasan tahanan merupakan respons yang tepat. Presiden Donald Trump siap untuk mendukung Israel dalam tindakan apapun yang dipilihnya terkait Hamas," demikian pernyataan dari Brian Hughes, juru bicara Dewan Keamanan Nasional.

Sebelumnya, utusan khusus AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, menyatakan bahwa pihaknya optimis tentang fase kedua kesepakatan gencatan senjata. Ia berharap kesepakatan itu akan terus berlanjut. 

"Kita harus mendapatkan perpanjangan fase pertama, jadi saya akan pergi ke wilayah itu pekan ini, mungkin pada Rabu (26/2/2025), untuk merundingkannya," ungkapnya pada 23 Februari kepada CNN.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorRahmah N