Human Rights Watch Kecam Pembunuhan 49 Demonstran di Peru

Jakarta, IDN Times - Kepolisian dan militer Peru diketahui telah menekan aksi protes antipemerintah baru-baru ini yang mengakibatkan kematian para demonstran. Laporan baru Human Rights Watch (HRW) menyebut kematian para demonstran itu diduga kuat sebagai "pembunuhan di luar hukum atau sewenang-wenang" di bawah hukum internasional.
Laporan yang dirilis pada Kamis (26/4/2023) itu, mencatat kasus selama Desember 2022 hingga Februari 2023. Para demostran turun ke jalan karena persoalan institusi demokrasi yang memburuk, korupsi, impunitas atas pelanggaran di masa lalu, dan ketidaksetaraan yang terus berlanjut.
1. Ada 49 warga sipil yang tewas akibat penyalahgunaan kepolisian dan militer
Setelah meninjau laporan otopsi serta catatan kesehatan, HRW menemukan bahwa sebagian besar kematian pengunjuk rasa dan penonton adalah akibat luka tembak kepolisian atau militer. Ada 49 warga sipil yang tewas dalam bentrokan dengan pasukan keamanan dari Desember 2022 hingga Februari 2023.
Organisasi nirlaba itu menemukan bahwa 39 tewas akibat senjata api, dan lima lainnya tewas akibat peluru yang ditembakkan dari shotgun. Laporan tersebut menyusul pemakzulan dan penangkapan Presiden Pedro Castillo pada Desember 2022 lalu.
“Kami telah menemukan bukti konklusif bahwa polisi dan militer di Peru menggunakan kekuatan yang tidak proporsional, membabi buta, dan brutal terhadap pengunjuk rasa dan penonton,” kata César Muñoz, direktur asosiasi Amerika di HRW, kepada Al Jazeera. "Kita bisa mengatakan itu dengan pasti," tambahnya.
2. Demonstrasi dilatarbelakangi oleh korupsi hingga rasa frustasi masyarakat
Human Rights Watch mewawancarai lebih dari 140 orang untuk membuat laporan itu, termasuk saksi, pengunjuk rasa yang terluka, kerabat korban tewas, petugas polisi, jaksa, jurnalis, dan lainnya. HRW juga bertemu dengan menteri pertahanan dan menteri dalam negeri, komandan polisi nasional saat itu, insspektur jenderal polisi, dan jaksa agung dalam menyusun laporannya.
HRW memverifikasi rekaman video dengan durasi lebih dari 37 jam dan 663 foto protes, dan meninjau laporan otopsi dan balistik, catatan kesehatan, berkas kriminal, dan dokumentasi lainnya.
Lebih dari 1.300 orang terluka akibat demonstrasi tersebut, termasuk ratusan petugas polisi. Seorang petugas polisi tewas dengan alasan yang belum diketahui secara pasti. Selama periode demonstrasi, ribuan orang telah turun ke jalan untuk menyerukan pemilihan umum lebih awal.
Para pengunjuk rasa mengatakan kepada HRW bahwa mereka juga termotivasi akibat rasa frustrasi tidak dapat memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak mereka, kurangnya akses ke pendidikan, dan perawatan kesehatan yang berkualitas.
3. Presiden Dina Boluarte tidak akan mengundurkan diri
Seorang warga sipil, Rosalino Florez yang berusia 22 tahun, ditembak lebih dari 30 kali dengan peluru pada 11 Januari 2023 lalu. Dia meninggal Maret lalu setelah hampir dua bulan dirawat di rumah sakit.
Pengunjuk rasa lainnya, Víctor Santisteban Yacsavilca, tewas pada 28 Januari 2023 ketika seorang petugas polisi menggunakan senjata anti huru hara untuk meluncurkan tabung gas air mata ke sekelompok pengunjuk rasa di ibu kota Lima.
Adik perempuan Victor menyatakan perasaannya kepada Al Jazeera aras kematian kakaknya. “Sungguh menyedihkan saya sebagai pribadi, sebagai manusia, sebagai saudara perempuan, melihat bahwa kita hidup di negara di mana tidak ada keadilan,” kata saudara perempuannya Elizabeth Santisteban.
“Sungguh membuat saya sangat sedih bahwa 60 nyawa tidak berharga bagi pemerintah yang korup ini,” tambahnya. Sementara itu, Presiden Dina Boluarte telah meminta maaf dan menyatakan "penyesalan" atas kematian tersebut walau dia menolak untuk mengundurkan diri.
“Saya tidak akan mengundurkan diri. Komitmen saya adalah dengan Peru,” katanya pada Januari 2023 lalu. Dia juga menyalahkan kekerasan pada apa yang disebut "radikal" dalam gerakan protes.