Ilustrasi alam semesta (kids.nationalgeographic.com)
Pada zaman dulu, terjadi perdebatan antara kaum teolog dan kaum filsuf mengenai “apakah alam semesta ini selalu ada sejak dulu (qadim) atau memiliki permulaan (hadits)?”
Kaum filsuf Neoplatonisme seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi berpendapat bahwa alam ini selalu ada sejak dulu. Mereka berpendapat bahwa alam ini tidak diciptakan dari ‘tiada’ menjadi ‘ada’.
Menurut pendapat Al-Ghazali, Tuhan menciptakan alam dari ‘tiada’ menjadi ‘ada’. Sebelum alam ini tercipta, hanya ada Tuhan dan tidak ada hal lain. Jadi, dapat dikatakan bahwa Tuhan tidak menggunakan unsur lain untuk menciptakan alam semesta. Al-Ghazali sangat menolak pendapat kaum filsuf tersebut. Bahkan, ia mengkafirkan orang-orang yang berpendapat seperti itu.
Ibnu Rushd menyanggah argumen Al-Ghazali dan menganggap bahwa mengkafirkan kaum filsuf adalah sesuatu yang berlebihan. Ia berpandangan bahwa perbedaan pendapat ini hanya masalah perbedaan perspektif saja. Menurutnya, alam ini diciptakan dari unsur yang telah ada, seperti air dan asap. Untuk memperkuat argumennya, Ibnu Rushd bahkan melampirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): “Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati”, niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata”. “ (QS. Hud : 7)
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”.” (QS. Fushshilat : 11)
Jadi, Ibnu Rusyd menafsirkan bahwa alam ini selalu ada. Soalnya, Tuhan menciptakan alam dengan memberi wujud unsur-unsur yang telah ada tersebut (air dan asap).