ICC Bisa Hukum Presiden Putin Atas Tuduhan Kejahatan Perang?

Jakarta, IDN Times - Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) menyatakan akan menggunakan yurisdiksinya untuk menyelidiki dugaan kejahatan perang di Ukraina.
Kondisi saat ini, Rusia dan Ukraina saling menuduh telah melakukan kejahatan perang dan kemanusiaan. Moskow menyebut Kiev menyiksa militer Rusia yang menjadi tahanan perang.
Di sisi lain, Kiev menyebut Moskow melanggar hukum Jenewa karena menggunakan bom asap ketika menyerang kota-kota di Ukraina.
Jaksa penuntut umum ICC, Karim AA Khan, mengaku sudah memiliki bukti pengantar yang meyakinkan untuk melakukan penyelidikan sesegera mungkin di negara yang diinvasi oleh Rusia sejak Kamis (24/2/2022).
“Saya telah meninjau kesimpulan dari pemeriksaan awal situasi di Ukraina, dan telah mengonfirmasi bahwa ada dasar yang masuk akal untuk melanjutkan penyelidikan, terkait dugaan kejahatan perang dan kemanusiaan yang dilakukan di Ukraina,” kata Karim, dikutip dari laman resmi ICC.
“Saya telah menugaskan tim untuk mengeksplorasi semua bukti. Langkah selanjutnya adalah proses pencarian izin melalui pra-peradilan untuk membuka penyelidikan. Mengingat konflik yang terus meluas, saya ingin penyelidikan ini mencakup setiap dugaan kejahatan baru, yang masuk dalam yurisdiksi ICC, yang dilakukan oleh pihak mana pun di Ukraina,” sambung dia.
Anggota Parlemen Australia, Dave Sharma, berharap ICC dapat menggunakan wewenangnya untuk menyeret Presiden Rusia Vladimir Putin ke meja hijau, demi mempertanggungjawabkan kejahatan perang yang dilakukan.
Salah satu wewenang ICC, sebagaimana termaktub dalam Statuta Roma adalah menuntut pertanggungjawaban hukum kepada individu, termasuk kepala negara, atas kejahatan kemanusiaan dan perang yang telah mereka lakukan.
“(Seperti) Mantan Presiden Serbia Slobodan Milosevic yang akhirnya dibawa ke pengadilan internasional karena kekejamannya selama perang yang menyertai pecahnya Yugoslavia. Kita harus memaksa Putin dan lingkarannya untuk merenungkan nasib yang sama,” kata Dave, dikutip dari Nikkei Asia.
Pertanyaan yang menarik adalah apakah ICC mampu mengadili Putin, atau bahkan menjebloskannya ke jeruji besi?
1. ICC akan gunakan yurisdiksinya untuk menyelidiki dugaan kejahatan perang di Ukraina
Sebelum membahas seputar wewenang ICC, penting untuk mengetahui bahwa Rusia dan Ukraina tidak meratifikasi Statuta Roma.
Kendati begitu, berdasarkan penuturan Karim, ICC dapat menggunakan hak prerogatifnya untuk menggunakan yurisdiksi pengadilan atas dugaan kejahatan perang yang tertuang dalam Statuta Roma. Selain itu, Ukraina juga telah mendeklarasikan menerima yurisdiksi ICC sejak 2013.
“Pengadilan telah dua kali menggunakan hak prerogratifnya. Deklarasi pertama diajukan Ukraina sehubungan dengan kejahatan perang yang dilakukan di Ukraina dari 21 November 2013-22 Februari 2014. Deklarasi kedua memperpanjang periode itu mulai 20 Februari 2014 dan seterusnya,” ungkap Karim.
Dengan kata lain, Rusia dan Presiden Putin tidak dapat berlindungi di balik kata-kata ‘tidak meratifikasi Statuta Roma’ agar tidak diadili di pengadilan internasional. Hal yang sama juga berlaku untuk Ukraina dan Presiden Volodymyr Zelenskyy.
2. Putin bisa diseret ke ICC asal melalui mekanisme DK PBB
Pakar hukum internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Irfan Hutagalung, menilai mengadili Putin berdasarkan yurisdiksi ICC tidak dapat dilakukan dalam waktu dekat.
“Dalam jangka pendek tidak mungkin. Oke, anggap saja Ukraina menerima yurisdiksi (ICC), tapi Rusia tidak,” kata Irfan kepada IDN Times.
Alternatif lain untuk menyeret Putin ke meja hijau yakni melalui resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Namun, langkah itu sangat sulit terealisasi, karena Rusia pasti akan memveto resolusi yang dapat menyeret pemimpinnya ke pengadilan.
“DK PBB bisa membuat keputusan meminta ICC menyelidiki dugaan kejahatan agresi dan dugaan kejahatan perang kalau ada. Itu artinya, (jika resolusi DK PBB keluar), Rusia tidak lagi dipimpin oleh Putin atau pemimpin Rusia yang baru adalah anti-Putin. Hanya itu kemungkinannya,” tutur alumni Norhtwestern University School of Law Chicago itu.
“Tapi, itu tidak mungkin terjadi. Kenapa? Karena kalau Putin masih berkuasa atau dia masih punya pengaruh, Rusia tidak akan membiarkan resolusi itu keluar, pasti diveto sama dia,” tambah Irfan.
3. Sulit untuk menyeret pelaku kejahatan perang dari negara besar
Pakar hukum internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, memberikan perspektif lain terkait berapa besar kemungkinan Putin akan diadili ICC. Menurut dia, ICC memang memiliki wewenang mengadili Putin, namun seberapa besar kesempatannya sangat bergantung dari hasil perang yang sedang berlangsung.
“Mungkin saja untuk mengadili (Putin), tapi itu setelah perang, itu pun kalau dia kalah. Kalau menang, coba saja lihat Perang Dunia II. Siapa yang diadili? Petinggi Jerman, Jepang. Kenapa? Karena mereka kalah perang,” ungkap dia kepada IDN Times.
“Amerika Serikat gak ada yang diadili. Apa yang nurunin bom itu gak jahat?” sambung dia
Hikmahanto meminta masyarakat, termasuk para pejabat Indonesia, memahami kedudukan hukum internasional yang sangat sulit untuk menerapkan prinsip hitam-putih.
“Jadi ya tidak bisa kalau dikatakan Putin salah, ya dia salah. Kalau Putin benar, ya dia benar. Tidak bisa begitu. Jadi ini memang masalah yang kompleks,” ujar dia.
Terlepas dari hasil perang di Ukraina, alumni Universitas Nottingham itu juga mengingatkan Rusia merupakan negara adidaya, yang secara tidak langsung kebijakan politiknya mampu menekan proses hukum.
“Amerika kalah di perang Vietnam. Harusnya, banyak pejabat Amerika yang jadi penjahat perang, tapi karena ini negara besar, akhirnya gak ada yang berani,” kata Hikmahanto, menganalogikan betapa sulitnya menyeret pelaku kejahatan perang dari negara adidaya ke meja hijau.