Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi bendera Iran (unsplash.com/mostafa meraji)
Ilustrasi bendera Iran (unsplash.com/mostafa meraji)

Jakarta, IDN Times – Iran memanggil Duta Besar (Dubes) Inggris, Prancis, dan Jerman pada Kamis (13/3/2025) untuk melayangkan protes terkait pertemuan tertutup dengan Amerika Serikat (AS) di Dewan Keamanan PBB di New York, terkait nuklir Teheran.

Kementerian Luar Negeri Iran menyatakan bahwa pertemuan negara-negara Eropa itu cenderung provokatif dan tak berlandas teknis atau hukum apapun.

"Pertemuan tersebut adalah langkah yang bermotif politik dan provokatif yang sejalan dengan kebijakan unilateral dan provokatif AS," kata Kemenlu Iran dalam sebuah pernyataan, dilansir Anadolu Agency.

Dubes ketiga negara itu dipanggil ke Kemenlu Iran. Mereka diperingatkan bahwa pertemuan semacam itu akan mengancam koordinasi antara Iran dan Badan Tenaga Atom International (IAEA).

1. Iran, China, dan Rusia akan bertemu bahas nuklir

Menlu Iran, Abbas Araghchi (kanan), bertemu dengan Direktur Jenderal IAEA, Rafael Mariano Grossi di Wina, Austria, pada 6 Mei 2021. (commons.wikimedia.org/IAEA)

Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghci, mengatakan akan melanjutkan perundingan putaran kelima dengan Prancis, Inggris, dan Jerman terkait nuklirnya. Semua pihak lain yang terlibat dalam perundingan 2015 juga akan dilibatkan.

"Pembicaraan kami dengan negara-negara Eropa telah berlangsung dan akan terus berlanjut. Namun, keputusan apa pun dari Dewan Keamanan PBB atau pengawas nuklir PBB untuk menekan kami akan mempertanyakan keabsahan pembicaraan ini," kata Araghchi, dilansir Al Jazeera.

Secara terpisah, Kemenlu China mengatakan akan mengadakan pertemuan trilateral antara China, Iran, dan Rusia untuk membahas nuklir Teheran. Pertemuan itu direncanakan pada Jumat.

Pertemuan yang direncanakan berlangsung di Beijing itu akan menghadirkan para wakil menteri dari tiga negara tersebut.

2. Tipuan publik dari Washington

Presiden AS, Donald Trump. (commons.wikimedia.org/Gage Skidmore)

Pembicaraan terkait nuklir Iran mengemuka sejak terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS. Belakangan, Trump mengatakan siap berunding dengan Iran terkait nuklir.

Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Khamenei, merespons rencana itu dengan skeptis. Ia mengatakan, perundingan yang diinisiasi oleh Trump hanya sebatas upaya untuk menipu opini publik global.

"Kami berunding selama bertahun-tahun, mencapai kesepakatan yang lengkap dan ditandatangani, lalu orang ini membatalkannya. Jika kita tahu mereka tidak akan melakukannya, apa gunanya berunding?" kata Khamanei.

Khamenei merujuk pada perjanjian nuklir 2015. Pada 2018, Trump menarik diri dari perjanjian itu dan menjatuhkan sanksi yang berat bagi Teheran.

3. AS beratkan sanksi, lalu siap berunding

Gedung Putih Amerika Serikat (commons.wikimedia.org/AmericanXplorer13)

Pekan lalu, Trump mengirim surat kepada Pemimpin Iran dan berharap bisa memulai negosiasi. Trump secara implisit mengatakan bahwa AS akan siap konfrontasi dengan Iran jika negosiasi tak terlaksana.

"Ada dua cara untuk menangani Iran, secara militer atau membuat kesepakatan. Saya lebih suka membuat kesepakatan, karena saya tidak ingin menyakiti Iran. Mereka orang-orang hebat. Saya kenal banyak orang Iran dari negara ini," kata Trump, dilansir NPR.

Menurut Al Arabiya, sejak kembali memimpin AS, kebijakan Washington terhadap Teheran semakin diperketat. Trump meningkatkan tekanan sanksi dengan memblokir penjualan minyak Iran ke seluruh dunia.

Di sisi lain, ia menyatakan siap berunding dengan Teheran. Trump mengatakan bahwa Iran akan dihancurkan jika mencoba meningkatkan senjata nuklirnya.

Adapun Iran telah berulang kali menyatakan tak melakukan pengembangan senjata nuklir. Namun uranium yang diperkaya oleh Teheran dipercaya bisa digunakan untuk pengembangan senjata. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team