Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi bulan (dok. NASA)
ilustrasi bulan (dok. NASA)

Intinya sih...

  • Menurut Bhavya Lal, nuklir menghasilkan energi besar dengan massa kecil. Reaktor nuklir dianggap penting di Bulan dan Mars karena keterbatasan tenaga surya.

  • Penggunaan nuklir bisa meningkatkan efektivitas misi sains dan memungkinkan transmisi data secara real-time. Tanpa energi nuklir, NASA perlu membawa ribuan baterai dari Bumi.

  • Pembangunan reaktor nuklir di Bulan menghadapi kendala teknis dan pendanaan. Bobot reaktor diperkirakan mencapai 10–15 ton

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

NASA tengah menyiapkan rencana ambisius untuk membangun reaktor nuklir di Bulan. Langkah ini menjadi bagian dari upaya Amerika Serikat memperkuat teknologi energi di luar angkasa, sekaligus mendukung keberlangsungan misi jangka panjang di Bulan dan Mars.

Gagasan tersebut semula terdengar seperti fiksi ilmiah, namun para ilmuwan menilai proyek ini sangat realistis. Reaktor nuklir berkapasitas 100 kilowatt yang ditargetkan terpasang pada 2030, diyakini dapat menjawab tantangan energi di luar angkasa yang tidak bisa dipenuhi hanya dengan tenaga surya.

1. Nuklir jadi solusi keterbatasan tenaga surya

ilustrasi NASA memanfaatkan tenaga surya (dok. NASA)

Menurut mantan Kepala Teknologi NASA, Bhavya Lal, penggunaan nuklir di luar angkasa sudah diteliti Amerika Serikat selama puluhan tahun. “Kami sudah melakukan ini lebih dari 60 tahun,” jelasnya dilansir Engadget. Bahkan, AS pernah meluncurkan reaktor nuklir ke luar angkasa pada 1965 dengan misi SNAP-10A.

Keunggulan nuklir adalah kemampuannya menghasilkan energi besar dengan massa yang kecil. Fisikawan nuklir Nick Touran mencontohkan, “Ketika dibelah sempurna, sepotong Uranium-235 sebesar bola softball menghasilkan energi setara dengan satu rangkaian kereta penuh batubara.”

Dengan tenaga surya yang terbatas di area gelap Bulan dan kondisi badai debu di Mars, reaktor nuklir dianggap sebagai lompatan teknologi penting. Lal menambahkan, “Jika ingin melakukan aktivitas komersial apa pun di Bulan, kita butuh lebih dari sekadar tenaga surya.”

2. Bisa percepat misi luar angkasa

ilustrasi misi luar angkasa (dok. NASA)

Penggunaan nuklir di luar angkasa juga bisa meningkatkan efektivitas misi sains. Lal mencontohkan misi New Horizons yang melintasi Pluto pada 2015. Saat itu, wahana hanya memiliki daya sekitar 200 watt, setara dengan dua lampu bohlam. Akibatnya, butuh 16 bulan untuk mengirim lebih dari 50 gigabyte data ke Bumi.

“Seandainya New Horizons dilengkapi mikroreaktor 20 kilowatt, data bisa ditransmisikan secara real-time, sekaligus memungkinkan wahana masuk orbit dan mengoperasikan semua instrumen secara terus-menerus,” jelas Lal.

Hal ini juga berlaku untuk Bulan, di mana malam berlangsung 14 hari Bumi. Tanpa energi nuklir, NASA perlu membawa ribuan baterai dari Bumi untuk menopang basis permanen di sana.

3. Tantangan teknis pembangunan reaktor

ilustrasi reaktor (dok. NASA)

Meski potensinya besar, pembangunan reaktor nuklir di Bulan menghadapi banyak kendala. Salah satunya adalah belum adanya perusahaan di AS yang memproduksi mikroreaktor. “Banyak yang masih tahap pengembangan, bahkan hampir tidak ada yang sampai tahap prototipe,” ujar Touran dikutip Engadget.

Selain itu, bobot reaktor 100 kilowatt diperkirakan mencapai 10–15 ton. Artinya, roket komersial saat ini belum mampu mengangkutnya. NASA mengandalkan roket Starship milik SpaceX untuk mendukung rencana ini, meski sejumlah uji coba roket tersebut masih gagal pada 2025.

Keterbatasan juga ada pada sistem pendarat Bulan. Hingga kini, baik SpaceX maupun Blue Origin belum berhasil menguji lander yang akan membawa reaktor tersebut ke permukaan Bulan.

4. Isu sumber daya manusia dan pendanaan

ilustrasi pegawai NASA (dok. NASA)

Selain tantangan teknis, NASA juga dihadapkan pada masalah sumber daya manusia. Dilansir Bloomberg, sekitar 4.000 pegawai diperkirakan meninggalkan lembaga itu akibat program pensiun dini dan pengurangan tenaga kerja. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan berkurangnya tenaga ahli di bidang nuklir.

Casey Dreier, Kepala Kebijakan Antariksa di The Planetary Society, menyebut kondisi ini kontradiktif. “Gedung Putih meminta NASA melakukan dua proyek paling ambisius, yakni mengirim manusia ke Bulan dan Mars, tetapi dengan sumber daya setara sebelum manusia pertama kali ke luar angkasa pada 1961,” ujarnya.

Meski begitu, NASA menegaskan proyek tetap berjalan. “NASA tetap berkomitmen pada misi kami, meskipun bekerja dengan anggaran lebih terbatas dan perubahan tenaga kerja,” kata Sekretaris Duffy dilansir Politico.

Laporan Bhavya Lal dan Roger Myers memperkirakan biaya pembangunan serta pengiriman reaktor nuklir ke Bulan mencapai 800 juta dolar AS per tahun selama lima tahun. Keberhasilan proyek ini akan sangat bergantung pada dukungan pemerintah dan sektor swasta.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team