Paul Kagame, Presiden Rwanda saat ini (Twitter.com/ Paul Kagame)
Di Rwanda, ada tiga kelompok suku utama yakni Hutu, Tutsi dan Twa. Ketika pembantaian 1994 terjadi, kira-kira 85 persen penduduk adalah Hutu, sementara 14 persen adalah Tutsi dan satu persen adalah Twa. Pemerintahan saat itu dipegang oleh mayoritas Hutu sejak Rwanda merdeka pada tahun 1962.
Mulai tahun 1990an, ada suku Tutsi yang membentuk kelompok pejuang untuk memberontak. Mereka berperang dengan pemerintah yang didominasi Hutu. Perang mengalami jalan buntu dan akhirnya Presiden Rwanda saat itu, Juvenal Habyarimana dari suku Hutu, menandatangani kesepakatan damai dengan suku Tutsi. Kesepakatan itu membuat dua suku bersepakat untuk berbagi kekuasaan.
Melansir dari laman United States Holocaust Memorial Museum (USHMM), pada 6 April 1994, Presiden Habyarimana terbunuh setelah pesawatnya terkena serangan roket darat-ke-udara ketika mendarat di Kigali. Sampai saat ini tidak ada kejelasan kelompok mana yang telah menyerang.
Tapi akibat kejadian tersebut, pemimpin garis keras Hutu menuduh bahwa Tutsi yang melakukannya. Setelah itu, mereka melancarkan kampanye untuk menghabisi Tutsi. Gerakan awal dari kelompok tersebut adalah membunuh tokoh Hutu yang moderat terlebih dahulu, yang mungkin nanti akan jadi penghalang atas rencana serangan besar-besaran untuk menghabisi Tutsi.
Selama 100 hari kemudian, ribuan anggota masyarakat suku Hutu dan militer Rwanda bergerak untuk membunuhi Hutu moderat dan kelompok suku Tutsi. Banyak dari Tutsi yang berlindung di gereja, sekolah atau gedung-gedung pemerintah. Namun justru ditempat itu, pembantaian mengerikan terjadi.
Dalam peristiwa inilah, pemerintah Rwanda saat ini melaporkan bahwa Prancis mempersenjatai, menasihati, melatih, melengkapi, dan melindungi pemerintah Rwanda yang saat itu mendapatkan dukungan penuh dari Prancis.
Serangan itu meluas tidak hanya di ibukota Kigali, tapi juga ke desa-desa terpencil, di mana para tokoh desa memberikan informasi tentang keberadaan tetangga mereka yang Tutsi. Lebih dari 800.000 orang Hutu moderat dan Tutsi tewas. Jutaan orang Tutsi lainnya mengungsi.
Pembantaian itu berakhir ketika pejuang Rwandan Patriotic Front (RPF) merebut ibukota Kigali dan menggulingkan kekuasaan. Pemerintahan yang baru membuat kebijakan persatuan dan rekonsiliasi, tidak membedakan rakyat Rwanda berdasarkan kelompok suku. Pemimpin RPF adalah Paul Kagame, yang saat ini menjadi Presiden Rwanda.