Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
pengungsi Sudan di Chad.
pengungsi Sudan di Chad. (Foreign, Commonwealth & Development Office, CC BY 2.0 , via Wikimedia Commons)

Intinya sih...

  • Krisis pangan di El-Fasher semakin parah.

  • Hampir setiap hari anak-anak tewas akibat kelaparan.

  • Penderita malnutrisi harus dirawat dengan hati-hati.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Total 63 orang, yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, dilaporkan tewas akibat malnutrisi di kota El-Fasher, Sudan, hanya dalam kurun waktu satu pekan. Seorang pejabat kesehatan setempat menyatakan angka tersebut hanya mencakup korban yang tercatat di rumah sakit.

Tragedi kemanusiaan ini terjadi di tengah pengepungan oleh kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) yang telah berlangsung sejak Mei tahun lalu. El-Fasher merupakan benteng pertahanan terakhir yang dikuasai tentara Sudan di wilayah Darfur yang dilanda perang saudara sejak April 2023, dilansir The New Arab pada Senin (11/8/2025).

1. Satu piring bubur dibagi untuk tujuh orang

Krisis pangan di kota tersebut semakin parah setelah dapur-dapur umum yang menjadi tumpuan hidup warga terpaksa tutup karena kehabisan pasokan. Akibatnya, banyak keluarga dilaporkan bertahan hidup dengan mengonsumsi pakan ternak atau sisa-sisa makanan.

Di salah satu dapur umum terbesar yang tersisa, porsi makanan telah menyusut secara drastis hingga tidak lagi layak. Satu piring bubur aseeda, makanan pokok setempat, yang sebelumnya cukup untuk tiga orang, kini harus dibagi untuk tujuh orang.

"Anak-anak dan perempuan yang datang ke dapur menunjukkan tanda-tanda malnutrisi yang jelas. Perut mereka bengkak dan mata mereka cekung," tutur seorang pengelola dapur umum, Majdi Youssef, dikutip dari TRT Global.

Data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan situasi yang sangat mengkhawatirkan di kota itu. Hampir 40 persen anak di bawah usia lima tahun di El-Fasher dilaporkan menderita malnutrisi, dengan 11 persen di antaranya dalam kondisi parah.

2. Hampir setiap hari anak-anak tewas akibat kelaparan

Penderitaan warga bertambah setelah serangan besar RSF ke kamp pengungsi Zamzam pada April lalu. Serangan itu memaksa puluhan ribu orang kembali mengungsi, dengan banyak di antara mereka terpaksa mencari perlindungan di dalam kota El-Fasher yang sudah padat dan terkepung. Kondisi di kamp-kamp sekitar kota tidak kalah mengerikan, di mana kelaparan telah merenggut nyawa anak-anak hampir setiap hari.

"Hari ini kami menguburkan lima anak," kata Adam Issa, direktur kamp Abu Shouk, dilansir Ynet.

Pejabat kesehatan meyakini angka kematian asli kemunkinan jauh lebih tinggi dari yang tercatat. Banyak keluarga memilih untuk langsung menguburkan kerabat mereka yang meninggal akibat kondisi keamanan yang buruk serta sulitnya akses transportasi.

PBB telah berulang kali memperingatkan nasib sekitar satu juta orang yang kini terperangkap di El-Fasher dan kamp-kamp sekitarnya. Mereka hampir sepenuhnya terputus dari akses bantuan kemanusiaan dan layanan dasar yang vital untuk bertahan hidup.

3. Penderita malnutrisi harus dirawat dengan hati-hati

Di tengah bencana kelaparan, para ahli kesehatan memperingatkan adanya ancaman lain yang mematikan, yaitu "sindrom pemberian makan ulang" (refeeding syndrome). Kondisi ini dapat berakibat fatal jika penderita malnutrisi parah kembali mengonsumsi makanan normal secara tiba-tiba tanpa pengawasan medis.

Penanganan korban kelaparan memerlukan pendekatan hati-hati dengan memberikan Makanan Terapi Siap Saji (RUTF) secara bertahap. Makanan harus diformulasikan khusus dengan nutrisi seimbang untuk memulihkan fungsi tubuh secara aman. Namun, upaya pencegahan ini sangat sulit dilakukan di lapangan karena keterbatasan sumber daya.

"Masalahnya, mencegah sindrom ini hampir tidak mungkin dilakukan dalam situasi dengan permintaan tinggi sementara jumlah petugas kesehatan atau petugas bantuan sangat rendah," kata dokter Wieger Voskuijl dan Hanaa Benjeddi kepada DW.

Para ahli sepakat bahwa tekanan internasional dibutuhkan untuk mendesak pihak-pihak yang bertikai. Tanpa adanya jaminan akses yang aman bagi lembaga bantuan, pengiriman pasokan akan terus terhambat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team