Diplomat perempuan Indonesia. (X/@Kemlu_RI)
Raka mengakui, jumlah diplomat perempuan masih belum sebanyak laki-laki. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, rekrutmen diplomat perempuan cukup signifikan.
Data Kemlu Sisterhood menyebutkan, jumlah diplomat perempuan hingga 2022 lalu mencapai 758 orang. Sementara laki-laki 1.091. Namun, sejak 2018, angkanya rekrutmen diplomat perempuan terus melebihi laki-laki.
Hal ini bisa dilihat sebagai kemajuan bagi perempuan untuk terus berkarya di kancah global, sebagai diplomat. Listiana Operananta, Konjen RI di Perth yang sudah dilantik juga sebagai Duta Besar Indonesia untuk Bulgaria mengatakan, ia memilih profesi ini karena terarik dengan sejarah bangsa.
Mantan jurnalis ini mengungkapkan, pengarusutamaan gender merupakan program yang menjadi bagian dari semua kementerian, termasuk Kemlu. "Ada dinamika dalam pencapaiannya, tapi personally saya merasa mendapatkan kesempatan cukup untuk mengekspresikan diri sebagai diplomat perempuan.
Begitu juga dengan Titania Arimbi, diplomat perempuan yang kini bertugas di KJRI Los Angeles. Titania menjelaskan, menjadi diplomat adalah cita-citanya sejak duduk di bangku sekolah menengah. Profesi ini, menurut Titania, memberikan banyak pengalaman berharga yang mungkin tidak bisa didapatkan di bidang lain.
Titania menambahkan, Kemlu hingga saat ini maish terus mewujudkan kesetaraan gender. Menurutnya, untuk mencapai hal tersebut, kesetaraan gender harus didukung oleh semua tingkatan dalam struktur organisasi, dari pimpinan tertinggi hingga jajaran terbawah.
"Kesetaraan bukan hanya harus diucapkan, tetapi juga diwujudkan melalui tindakan nyata dan komitmen yang kuat," tutur Titania.
Menjadi diplomat perempuan tentu punya tantangan tersendiri. Titania yang sudah lebih dari 10 tahun berkecimpung di dunia diplomasi mengatakan, tantangan yang kerap dihadapi diplomat perempuan adalah melawan persepsi.
"Diplomat perempuan memiliki kemampuan untuk melakukan semua tugas yang juga dapat dilakukan oleh diplomat laki-laki. Namun, tantangan sering kali muncul dari persepsi, preferensi, serta faktor budaya—baik dalam lingkungan internal maupun eksternal. Misalnya, ada beberapa negara yang memiliki budaya yang kurang mendukung peran perempuan dalam diplomasi," ucapnya.
Diplomat muda, Nadine Salsabila Utomo juga mengakui adanya tantangan yang cukup besar bagi diplomat perempuan, terlebih mereka yang sudah berkeluarga. "Yang paling besar adalah ketika diplomat perempuan harus membagi peran; antara menjadi anak, istri, ibu dan pegawai. Dibutuhkan banyak dukungan, toleransi dan kompromi untuk mewujudkan hal tersebut," seru Nadine.