Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump bertemu dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping di KTT G20 di Osaka, Jepang, pada 29 Juni 2019. (ANTARA FOTO/REUTERS/Kevin Lamarque)
Sementara itu, Global Times berargumen bahwa itu kontras dengan sikap Amerika Serikat kepada Tiongkok. "India adalah negara yang paling sering memutus akses internet untuk mengakhiri kerusuhan," lanjut editorial media yang berkantor di Beijing itu.
"Negara itu melakukan 134 pemutusan internet dari 196 yang terdata pada 2018. Meski begitu, kita jarang melihat opini negara Barat menjadikannya sebagai masalah." Menurut laporan Freedom House, India memang memimpin sebagai negara yang paling sering melakukan pembatasan internet pada tahun tersebut.
Global Times pun menegaskan kembali posisi pemerintah pusat bahwa Amerika Serikat "tidak seharusnya ikut campur" dan menyebut sikap terhadap apa yang terjadi di Provinsi Xinjiang sebagai "intervensi menjijikkan terhadap masalah etnis dan keagamaan di Tiongkok".
"Etnis minoritas di Wilayah Otonom Uighur Xinjiang menikmati kebijakan istimewa dalam hal melahirkan dan menerima pendidikan. Muslim di Tiongkok tak pernah didiskriminasi di bawah kebijakan dan hukum negara. Wilayah itu tak punya pilihan lain selain mengambil beberapa langkah untuk mengakhiri gangguan," tulisnya.
Media itu memiliki teori kenapa Amerika Serikat lebih fokus kepada isu di Xinjiang daripada Assam. "Tiongkok dan India diperlakukan berbeda bukan karena India adalah negara demokrasi di bawah konsep Barat, tidak juga karena prasangka ideologis yang mengakar kuat terhadap Tiongkok."
"Negara Barat mengaplikasikan standar ganda kepada Tiongkok sebab Amerika Serikat tak bisa menerima fakta Tiongkok sedang bangkit," tegasnya, kemudian melanjutkan bahwa Washington tidak memberi tekanan yang sama terhadap Myanmar atas apa yang dialami Rohingya dan Arab Saudi setelah jurnalis Jamal Khashoggi dibunuh.