Canberra, IDN Times - Jika frasa "menjemput" terasa janggal di judul, saya meminta kesediaan Anda membaca dulu cerita yang akan saya tulis ini dari awal hingga tuntas.
Jumat, 14 Juni 2019, jelang waktu salat Jumat, saya harus bisa memberikan jawaban "ya" untuk undangan dinas luar negeri dari pemerintah Australia menuju ke Canberra dan Melbourne, selama satu pekan.
Undangannya pun tak main-main, mengunjungi dan meliput Exhibition of Contemporary World Arts: Indonesia. Bagi saya, seni adalah hal yang susah-susah gampang untuk dipahami. Susah dipahami ketika saya harus mencoba menyelami ideologi seorang seniman lewat sebuah karya. Namun menjadi gampang, ketika medium seni yang mereka pakai untuk menyampaikan wacana hingga ideologi adalah musik.
Saya suka musik dan sastra, tapi untuk seni secara umum, saya butuh waktu lebih lama untuk sekadar suka. Beruntung, saya punya Woto Wibowo.
Senin, 17 Juni 2019, seusai briefing agenda di kantor Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia di Taman Patra, Kuningan, Jakarta Selatan, saya bergegas menghubungi Woto. Wok, nama akrabnya, adalah adik dari ibu saya. Kebetulan, sosoknya adalah salah satu seniman kontemporer yang, boleh saya bilang, cukup disegani di Yogyakarta.
Secara struktural, dia adalah paman dan saya adalah keponakannya. Tapi karena seorang seniman acapkali punya kecenderungan mendobrak status quo, juga semangatnya untuk menolak tua, kami sepakat memosisikan diri sebagai adik dan kakak.
Darinya, saya mendapatkan empat nama untuk dijumpai di Canberra: FX Harsono, Duto Hardono, Yudha "Fehung" Kusuma Putera, dan Uji (Hahan) Handoko Eko Saputro.