Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG_0483.jpeg
Menlu Sugiono dalam sesi G20 di sela UNGA 80 di Markas Besar PBB. (IDN Times/Marcheilla Ariesta)

Intinya sih...

  • Revitalisasi multilateralisme jadi agenda mendesak

    • Perlunya kerja sama, dialog, dan kemitraan untuk menghadapi tantangan global.

  • PBB harus menjadi pusat revitalisasi multilateralisme demi menemukan solusi bersama.

  • G20 mendukung inisiatif UN80 untuk memperkuat PBB dan mencapai SDGs.

  • Krisis pembiayaan SDGs dan dorongan reformasi

    • Kesenjangan pembiayaan mencapai 4 triliun dolar AS per tahun.

  • Diperlukan sumber pembiayaan baru dan reformasi bank pembangunan multilateral.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

New York, IDN Times - Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Sugiono menghadiri pertemuan para menteri luar negeri G20 yang digelar di sela Sidang Majelis Umum PBB (UNGA) di New York. Dalam kesempatan itu, ia menyoroti berbagai tantangan besar yang kini dihadapi dunia.

Sugiono menyebut percepatan perubahan iklim, melebar­nya ketimpangan, serta ancaman ketidakamanan pangan dan energi sebagai faktor yang semakin menekan negara-negara rentan. Menurutnya, situasi ini diperburuk dengan ketegangan geopolitik yang terus meningkat.

“Indonesia percaya bahwa perdamaian adalah pendorong utama. Tanpa perdamaian, agenda bersama kita menjadi mustahil untuk diwujudkan,” kata Sugiono di hadapan para mitra G20, Kamis (25/9/2025).

Ia menegaskan, dunia tidak bisa membiarkan tantangan-tantangan tersebut terus berkembang tanpa upaya nyata. Untuk itu, kerja sama lintas negara menjadi semakin penting, agar agenda pembangunan bersama tidak terhambat.

1. Revitalisasi multilateralisme jadi agenda mendesak

Menlu Sugiono dalam sesi G20 di sela UNGA 80 di Markas Besar PBB. (IDN Times/Marcheilla Ariesta)

Dalam pidatonya, Sugiono menekankan, tidak ada satu pun negara yang bisa menghadapi krisis global sendirian. Ia menilai kekuatan dunia terletak pada kerja sama, dialog, kemitraan, dan membangun kepercayaan satu sama lain.

Menurut Sugiono, hal inilah yang menjadi alasan utama perlunya revitalisasi multilateralisme dengan menjadikan PBB sebagai pusatnya. Multilateralisme yang kuat akan memungkinkan negara-negara menemukan jalan keluar bersama dari tantangan global.

Menjelang peringatan 80 tahun PBB, ia menilai organisasi internasional itu harus menjadi lebih kuat, efektif, dan inklusif. PBB juga dituntut mampu memberikan solusi yang nyata dan terukur, bukan sekadar forum diskusi.

Ia menekankan peran strategis G20 dalam mendukung inisiatif UN80 yang digagas Sekretaris Jenderal PBB. Dukungan tersebut, kata Sugiono, mencakup dorongan bagi PBB agar lebih efisien, mampu menjalankan mandat dengan baik, dan semakin selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

2. Krisis pembiayaan SDGs dan dorongan reformasi

Menlu Sugiono dalam sesi G20 di sela UNGA 80 di Markas Besar PBB. (IDN Times/Marcheilla Ariesta)

Sugiono juga menyoroti masalah kesenjangan pembiayaan untuk pencapaian SDGs. Ia menyebut kebutuhan pembangunan berkelanjutan mencapai sekitar 4 triliun dolar AS per tahun, jumlah yang sulit dipenuhi tanpa reformasi mendasar.

“Kita butuh sumber pembiayaan baru dan inovatif. Bank pembangunan multilateral harus direformasi untuk benar-benar memenuhi kebutuhan negara berkembang,” ujarnya.

Menurutnya, tanpa inovasi, jurang pembiayaan global hanya akan semakin melebar. Hal ini pada akhirnya akan memperlambat pencapaian SDGs yang menjadi agenda kolektif masyarakat internasional.

Bagi Indonesia, peran negara maju dan lembaga keuangan global sangat krusial dalam memastikan agar pendanaan pembangunan benar-benar tersedia. Tanpa reformasi, negara berkembang akan semakin tertinggal dalam menghadapi tantangan global.

3. Ketimpangan jadi ancaman stabilitas dunia

Menlu Sugiono dalam sesi G20 di sela UNGA 80 di Markas Besar PBB. (IDN Times/Marcheilla Ariesta)

Dalam pernyataannya, Sugiono menekankan, ketimpangan global tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Menurutnya, persoalan ini bukan hanya kegagalan moral, tetapi juga menjadi pendorong konflik, instabilitas, dan kekecewaan masyarakat.

“Mengurangi ketidaksetaraan adalah jalan paling pasti menuju perdamaian dan kemakmuran. Ini harus menjadi inti agenda kolektif kita,” tegasnya.

Sugiono menilai kesenjangan yang semakin melebar hanya akan memperburuk tantangan lain yang dihadapi dunia, termasuk perubahan iklim dan krisis energi. Karena itu, mengatasi ketimpangan harus menjadi prioritas bersama.

Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan pilihan yang harus diambil dunia: membiarkan fragmentasi semakin dalam, atau bekerja bersama untuk membangun kembali kepercayaan pada multilateralisme.

Editorial Team