Kendaraan Militer Amerika Serikat sedang berpatroli di dekat tambang minyak di Suriah. twitter.com/mfa_russia
Semakin parahnya perang saudara yang berkecamuk di Suriah adalah produk dari intervensi militer asing yang masih terjadi hingga hari ini. Perang yang diawali protes masyarakat Suriah terhadap Presiden Bashar al Assad, mengantarkan Suriah ke ambang jurang kehancuran sebagai akibat besarnya skala konflik.
Intervensi militer asing di Suriah dimulai ketika pemerintah Amerika Serikat memutuskan untuk mendukung pasukan pemberontak antipemerintah, Free Syrian Army (FSA). Dukungan secara diam-diam itu dilancarkan dengan memberikan pelatihan tempur dan senjata oleh Central Inteligence Agency (CIA) sejak tahun 2011 hingga 2017, seperti yang dilansir Reuters.
Washington kemudian memperluas jangkauan intervensinya dengan mendukung pasukan pemberontak Kurdi, Syrian Democratic Forces (SDF), secara terang-terangan sejak 2015. SDF sukses mendapat bantuan melalui Kementerian Pertahanan AS, mulai dari persenjataan, pelatihan tempur, hingga bantuan serangan udara yang secara khusus ditujukan ke posisi-posisi ISIS di Suriah.
Tidak berhenti di situ, berkat kesepakatannya dengan SDF, militer AS beserta sekutunya, seperti Inggris dan Prancis, juga mengerahkan pasukannya ke Suriah. Mereka datang dengan misi menjamin keamanan wilayah timur Suriah yang dikuasai oleh SDF.
Selain AS, Federasi Rusia dan Iran juga ikut terlibat dalam konflik Suriah. Namun intervensi mereka di negara tersebut merupakan permintaan langsung dari pemerintah Suriah yang membutuhkan bantuan militer demi menghadapi amukan pasukan pemberontak dan ISIS. Bantuan serangan udara strategis dan pelatihan militer dari Rusia serta bantuan pejuang milisi Iran, terbukti berhasil dalam menghentikan gerak pasukan pemberontak dan membalikkan keadaan.
Aktor asing terakhir yang dengan terang-terangan melakukan intervensi militer di Suriah adalah Turki. Sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Suriah, pemerintah Turki khawatir dengan keamanan negaranya. Mereka pun mulai melakukan intervensi dengan menginvasi wilayah utara Suriah sebanyak dua kali di 2018 dan 2019, yang saat itu sedang dikuasai pasukan Kurdi SDF.
Memboncengi pasukan Free Syrian Army (FSA) yang sudah tidak mendapatkan bantuan dari AS lagi, Turki berhasil menguasai sebagian wilayah utara itu. Namun, berkat keterlibatannya dengan FSA pulalah, upaya pemerintah Suriah menghancurkan FSA terhambat. Wilayah pertahanan terakhir FSA di Provinsi Idlib, yang berbatasan langsung dengan Turki, mendapat dukungan konstan dari militer Turki, baik persenjataan hingga kendaraan tempur berat.