Korban penyerangan Israel terhadap Palestina. (instagram.com/mohammed_dahlan86)
Perjuangan Tasneem dan keluarganya belum berhenti sampai di situ. Perlindungan mereka di Kota al-Zahra jauh dari kata aman.
Pada pagi hari tanggal 19 Oktober, kepanikan kembali mencengkeram mereka ketika Israel melancarkan serangan udara yang menargetkan dua menara di Kota al-Zahra.
“Ipar saya memperingatkan bahwa jika Israel menargetkan satu menara di kota tersebut kemungkinan besar Israel akan memperluas serangannya ke semua menara. Ini seperti kanker ganas yang menyebar dengan cepat,” kata Tasneem.
Sekitar jam 7 malam, Israel mengeluarkan peringatan kepada seluruh penduduk di al-Zahra untuk mengungsi dari daerah tersebut sebelum melancarkan serangan terhadap 22 menara lainnya.
Dengan tergesa-gesa, mereka mengumpulkan barang-barang, pakaian, dan selimut mereka. Mereka harus menggendong ibu mertua Tasneem yang cacat menuruni tangga. Ribuan orang memadati jalanan, mereka putus asa untuk menghindari bahaya yang akan datang.
Otoritas pertahanan sipil menyarankan mereka untuk berkumpul di dekat sekolah negeri, dan memperingatkan agar tidak berkumpul di dalamnya untuk menghindari nasib serupa dengan yang terjadi di Rumah Sakit al-Ahli.
Mereka meringkuk di dinding sekolah. Di jalanan sama sekali tidak ada tanda-tanda kehidupan atau pergerakan. Kemudian, langit mulai bersinar dengan rona merah menyala, dan disusul dengan rentetan ledakan yang memekakkan telinga.
“Itu adalah suara yang sulit untuk dijelaskan, suara paling keras dan tak tertahankan yang pernah saya dengar. Siklus ini berulang hampir setiap 15 menit, berlangsung dari malam hingga pagi hari, katanya,” kata Tasneem.
“Setiap 15 menit, kami menangis, menangis ketakutan dan putus asa, tidak mampu memahami pengeboman tanpa henti yang terjadi hanya beberapa ratus meter dari kami. Kami berada di jalanan, bersama anak-anak kami, dan tidak ada yang mencari perlindungan,” tambahnya.
Ia melanjutkan, yang lebih buruk lagi ketika pukul 3 pagi di mana mereka merasa kedinginan karena tidak mengenakan pakaian hangat. Itu menambah penderitaan mereka.
“Malam itu adalah malam terburuk dalam hidup saya. Tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan kengerian yang kami alami, itu tak tergambarkan," tuturnya.
Keesokan paginya, keluarga besar tersebut yang secara ajaib selamat, menghadapi pilihan sulit, kembali ke rumah mereka di Gaza atau mencari perlindungan di salah satu sekolah yang dikelola oleh badan PBB UNRWA, tempat ratusan ribu orang telah berlindung. Mereka akhirnya memilih pulang ke rumah.
Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB, konflik telah menyebabkan lebih dari 1,4 juta warga Gaza mengungsi, termasuk 640.000 orang berlindung di 150 gedung Unrwa di seluruh Jalur Gaza dan 121.750 orang berlindung di rumah sakit, gereja dan bangunan umum lainnya.
“Sembilan dari kami berhasil pulang dengan mobil, sementara anggota keluarga kami yang lain harus berjalan kaki sekitar 10 kilometer karena tidak tersedia taksi,” kata Tasneem.
“Saat kembali ke rumah, kami menghadapi kenyataan pahit karena tidak adanya listrik atau air. Saya bergantung pada tetangga saya yang memiliki sumur kecil untuk memberi saya air dalam jumlah terbatas. Sayangnya, airnya sangat asin, mengingat kondisi air yang ada di sana dekat dengan laut,” katanya.
“Menemukan air minum dan makanan yang cukup telah menjadi perjuangan sehari-hari. Pilihan memasak saya terbatas, biasanya pasta dan makanan kaleng seperti lentil dan kacang-kacangan, yang tersedia di toko bahan makanan lokal. Saya menganggap diri saya beruntung memiliki tabung gas untuk memasak, khususnya ketika saya melihat tetangga saya menyalakan api untuk menyiapkan makanan mereka," kata Tasneem.