Pemimpin Pakistan Tehreek-e-Insaf, Imran Khan dan Arif Alvi, selama kampanye pemilu 2018 (Voice of America, Public domain, via Wikimedia Commons)
Juni lalu, Perdana Menteri Pakistan Shehbaz Sharif menyambut dengan tangan terbuka kepada pimpinan oposisi utama negara itu, Pakistan Tehreek-e-Insaf (PTI), dalam pidatonya di Majelis Nasional.
“Dalam 76 tahun sejak kemerdekaan Pakistan, kita telah mencapai titik di mana kita bahkan ragu untuk berjabat tangan satu sama lain,” kata Sharif pada 26 Juni, menyesalkan perpecahan politik yang dalam di negara itu.
Namun, kurang dari sebulan kemudian, pada 15 Juli, Menteri Informasi Attaullah Tarar mengumumkan dalam konferensi pers di Islamabad bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan untuk melarang PTI, dengan alasan tuduhan menghasut protes kekerasan tahun lalu dan membocorkan informasi rahasia. PTI dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Imran Khan, yang berkuasa dari 2018 hingga 2022.
“Pemerintah telah memutuskan untuk melarang PTI setelah meninjau semua bukti yang tersedia. Kami akan mengajukan kasus untuk melarang partai tersebut,” katanya.
Pengumuman oleh pemerintah Liga Muslim Pakistan-Nawaz (PMLN) menuai kecaman luas tidak hanya dari para pesaingnya tetapi juga dari para sekutunya dan kelompok-kelompok hak asasi manusia. Bahkan Amerika Serikat pun menyampaikan kekhawatirannya.
Para pemimpin Partai Rakyat Pakistan (PPP), adalah partai terbesar kedua dalam koalisi yang berkuasa, mengatakan bahwa mereka tidak diajak berkonsultasi sebelum pengumuman tersebut.