Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
bendera Republik Demokratik Kongo. (unsplash.com/ aboodi vesakaran)
bendera Republik Demokratik Kongo. (unsplash.com/ aboodi vesakaran)

Intinya sih...

  • Kelompok M23 bergerak menuju Uvira

  • Perang pecah tak lama setelah kesepakatan damai di AS

  • Rwanda dituduh mendukung kelompok M23

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada Selasa (9/12/2025), melaporkan setidaknya 200 ribu orang telah melarikan diri dari rumah mereka akibat pecahnya kembali perang di Republik Demokratik Kongo (DRC). Pertempuran sengit meletus antara tentara pemerintah dan pemberontak M23 yang didukung Rwanda saat mereka bergerak menuju kota strategis di wilayah timur.

PBB mencatat sedikitnya 74 orang tewas dan 83 lainnya dirawat di rumah sakit akibat luka-luka dalam bentrokan yang meningkat drastis dalam beberapa hari terakhir. Kekerasan ini terjadi hanya berselang beberapa hari setelah kesepakatan damai ditandatangani di Amerika Serikat (AS), dilansir The Straits Times.

1. Kelompok M23 bergerak menuju Uvira

Pejabat lokal dan warga setempat mengonfirmasi bahwa pemberontak M23 telah bergerak maju menuju kota Uvira yang terletak di perbatasan dengan Burundi. Kelompok pemberontak tersebut terlibat baku tembak dengan pasukan Kongo serta kelompok lokal Wazalendo di desa-desa bagian utara.

Ribuan warga sipil dilaporkan melintasi perbatasan menuju Burundi untuk menghindari pertempuran. Pemerintah Burundi mencatat lebih dari 8 ribu kedatangan harian dalam dua hari terakhir, dengan total mencapai 30 ribu orang dalam sepekan.

Kepanikan melanda warga lokal seiring jatuhnya bom di perbukitan di atas kota Uvira yang dihuni ratusan ribu penduduk. Warga menggambarkan situasi kacau di mana banyak penduduk terpaksa bersembunyi di bawah tempat tidur atau mencari perahu untuk menyeberangi Danau Tanganyika demi menyelamatkan diri, dilansir RFI.

Koordinator Kemanusiaan PBB di Kongo, Bruno Lemarquis, menyerukan perlindungan bagi penduduk sipil yang terjebak di tengah konflik. Ia memperingatkan serangan terhadap infrastruktur sipil merupakan pelanggaran hukum kemanusiaan internasional.

"Saya sangat sedih dengan dampak buruk pertempuran ini terhadap penduduk sipil, sangat penting untuk mencegah bertambahnya korban jiwa selain jumlah korban yang sudah tragis. Warga sipil dan infrastruktur sipil bukanlah target serangan," ujar Lemarquis, dilansir TRT Afrika.

2. Perang pecah tak lama setelah kesepakatan damai di AS

Presiden AS Donald Trump, Presiden Rwanda Paul Kagame dan Presiden Republik Demokratik Kongo Felix Tshisekedi(The White House, Public domain, via Wikimedia Commons)

Bentrokan berdarah ini terjadi kurang dari seminggu setelah Presiden AS Donald Trump menjadi tuan rumah bagi pemimpin Rwanda dan Kongo untuk menandatangani pakta perdamaian. Acara penandatanganan di Washington pada 4 Desember lalu dimaksudkan untuk mengakhiri konflik puluhan tahun di kawasan tersebut.

Saat upacara tersebut, Trump sempat mengklaim keberhasilan pemerintahannya dalam menyelesaikan konflik yang telah menewaskan jutaan orang itu. Ia bahkan menyebut kesepakatan tersebut sebagai sebuah kesepakatan ajaib yang berhasil dicapai AS dan Qatar.

"Hari ini kita berhasil mencapai sesuatu yang gagal dicapai banyak orang lain. Kita telah mengakhiri konflik 30 tahun yang telah menyebabkan kematian jutaan orang," tutur Trump dalam acara tersebut, dilansir The Guardian.

Namun, Presiden Kongo Felix Tshisekedi menuduh Rwanda telah melanggar perjanjian damai tersebut tak lama setelah penandatanganan. Pertempuran langsung terjadi di Kivu Selatan pada hari yang sama dengan penandatanganan, merusak harapan stabilitas di kawasan kaya mineral tersebut.

3. Rwanda dituduh mendukung kelompok M23

Pemerintah AS dan PBB menyatakan kekhawatiran atas kekerasan yang kembali terjadi dan menuding adanya peran asing dalam konflik ini. Washington mengklaim ada bukti jelas terkait dukungan Rwanda terhadap pemberontak M23, meskipun hal ini dibantah oleh Kigali.

Kementerian Luar Negeri AS mendesak Rwanda untuk segera menghentikan dukungannya terhadap kelompok pemberontak demi mencegah eskalasi lebih lanjut. Di sisi lain, Rwanda berdalih tindakan mereka adalah respons terhadap ancaman eksistensial dari militan etnis Hutu di Kongo timur yang terkait dengan genosida 1994.

Aliansi pemberontak Alliance Fleuve Congo (AFC), yang menaungi M23, justru mendesak tentara yang melarikan diri untuk tidak meninggalkan kota Uvira. Pemimpin M23, Bertrand Bisimwa, mengklaim pihaknya masih mendukung pembicaraan damai yang dipimpin Qatar meskipun pertempuran terus berlanjut di lapangan.

Konflik berkepanjangan di Kongo timur ini telah menyebabkan setidaknya 1,2 juta orang menjadi pengungsi internal sebelum lonjakan kekerasan terbaru ini. Situasi semakin diperparah dengan penggunaan drone dan senjata berat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team