Bakal calon presiden Amerika Serikat 2020 Demokrat Senator Bernie Sanders melambaikan tangan dengan istrinya Jane dalam sebuah reli di Denver, Colorado, Amerika Serikat, pada 16 Februari 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Rick Wilking
Dengan monopoli dan kekuatan sebesar itu dalam memengaruhi keputusan pemilih, tak heran bila banyak yang mempertanyakan apakah etis bagi perusahaan teknologi menerima uang dari iklan politik? Twitter sendiri bukan pemain besar dalam iklan politik.
Dari laporan yang dirilis tahun lalu, Jack Dorsey mengatakan pihaknya hanya menerima kurang dari Rp43 miliar ketika Amerika Serikat melangsungkan Pemilu Sela pada 2018. Kandidat Presiden yang per 2019 paling banyak beriklan di Twitter adalah Kamala Harris. Itu juga hanya sebesar Rp14 juta.
Lain halnya dengan Facebook dan Google. Menurut 2020campaigntracker.com, Donald Trump memuncaki dana iklan politik di Facebook yaitu sebesar Rp225 miliar sejak Januari hingga Oktober 2019.
Tujuh kandidat lainnya juga menggelontorkan dana di platform itu dengan nilai paling rendah yaitu Rp40 miliar. Facebook juga mengungkap kelompok yang berhubungan dengan Rusia beriklan untuk memengaruhi politik Amerika Serikat. Mereka membayar Rp1,4 miliar dan Facebook menerimanya.
Sedangkan dari laporan Google yang dikutip CNBC, komite kampanye Donald Trump adalah pengiklan politik terbesar di mesin pencarian tersebut dengan membayar Rp118 miliar. Di urutan berikutnya adalah kelompok yang mendukung Partai Republik dan masing-masing membayar Rp74 miliar serta Rp59 miliar.
Perdebatan ini takkan usai meski pemerintah di berbagai negara membuat aturan main yang akan membatasi apa yang boleh dan tak boleh dilakukan penguasa internet. Namun, satu yang seharusnya menjadi pedoman, internet adalah ruang publik di mana monopoli, baik dari korporasi maupun pemerintah, semestinya menjadi sesuatu yang diharamkan.
Baca artikel menarik lainnya di IDN App, unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb