Profil Aung San Suu Kyi, Pemimpin Myanmar yang Jadi Tahanan Politik

Jakarta, IDN Times - Penasihat negara Myanmar yang dikudeta, Aung San Suu Kyi, divonis oleh pengadilan negara di bawah rezim junta selama 6 tahun penjara. Durasi kurungan merupakan akumulasi atas dua pasal, yaitu pelanggaran karena mengimpor alat komunikasi ilegal dan undang-undang darurat pandemik COVID-19.
Suu Kyi ditetapkan sebagai tahanan politik sejak junta yang dipimpin oleh Min Aung Hlaing melancarkan kudeta pada 1 Februari 2021 silam. Kendati begitu, dukungan terhadap perempuan berusia 76 tahun itu tak kunjung henti sampai hari ini.
Suu Kyi merupakan tokoh revolusi, harapan bagi demokrasi, dan simbol komitmen Myanmar terhadap hak asasi manusia (HAM). Jatuh bangun Suu Kyi dalam memperjuangkan demokrasi dan supremasi hukum diganjar Nobel Perdamaian pada 1991. Kala itu, dia juga menjadi tahanan rumah.
Suu Kyi yang dielu-elukan sebagai simbol perjuangan sipil juga tidak lepas dari kritik. Meski berhasil menegakkan demokrasi dan meruntuhkan rezim militer, dia hanya bisa diam ketika aparat bersenjata mendiskriminasi etnis Rohingnya.
Di hadapan Mahkamah Internasional, dia bahkan membela militer dan menolak sebutan untuk operasi bersenjata di Rakhine State sebagai aksi genosida.
Berikut profil lengkap Aung San Suu Kyi, pemimpin Myanmar yang menjadi tahanan politik!
1. Latar belakang Aung San Suu Kyi
Dilansir dari Burma Campaign dan BBC, Suu Kyi lahir pada 19 Juni 1945. Ayahnya Jenderal Aung San merupakan pahlawan kemerdekaan Burma, yang dibunuh ketika Suu Kyi berusian dua tahun pada 1948.
Suu Kyi mengenyam pendidikan di tiga negara berbeda, Myanmar, India, dan Inggris. Pada 1960, dia ikut bersama ibunya ke Daw Khin Kyi, karena ditunjuk sebagai Duta Besar Myanmar di Delhi.
Empat tahun kemudian, pada 1964, dia hijrah ke Inggris untuk mengampu studi filsafat politik dan ekonomi di Universitas Oxford. Di sanalah, dia bertemu dengan Michael Aris, sarjana Tibet yang dinikahi pada 1972. Mereka dianugerahi dua putra bernama Alexander dan Kim.
Setelah bekerja dan sempat bermukim di Jepang dan Buthin, dia menetap di Inggris untuk membesarkan kedua anaknya. Bertepatan dengan krisis pemerintahan di Yangon pada 1988, Suu Kyi kembali ke Myanmar untuk merawat ibunya yang sedang sakit berat.
Melihat ribuan pelajar, pekerja kantoran, dan biksu berbondong-bondong turun ke jalan menyuarakan demokrasi, Suu Kyi tergerak untuk ikut melawan rezim diktator Jenderal Ne Win. “Sebagai putri dari ayah saya, saya tidak bisa tinggal diam dengan semua yang terjadi,” kata dia dalam sebuah pidato di tengah aksi yang dikenal sebagai Gerakan 8888.