Mantan PM Nepal, Sharma Oli dan Presiden Rusia, Vladimir Putin. (Kremlin.ru, CC BY 4.0 <https://creativecommons.org/licenses/by/4.0>, via Wikimedia Commons)
Oli pertama kali menjabat sebagai Perdana Menteri pada periode 2015-2016. Popularitasnya meroket saat ia mengambil sikap tegas melawan India yang saat itu memberlakukan blokade perbatasan. Sikap nasionalis ini membuatnya dipandang sebagai pemimpin yang berani melawan hegemoni negara tetangga.
Pada periode keduanya (2018-2021), ia kembali berkuasa dengan kemenangan mayoritas di parlemen. Di masa inilah ia meluncurkan visi "Nepal Sejahtera, Rakyat Nepal Bahagia". Namun, gaya kepemimpinannya dinilai cenderung otoriter karena ia jarang menerima kritik dan sering melontarkan pernyataan sinis kepada media, dilansir Indian Express.
Pemerintahannya juga diwarnai oleh konflik internal partai yang berujung pada manuver kontroversial. Oli tercatat pernah membubarkan parlemen, sebuah tindakan yang kemudian dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Agung. Ia juga memusatkan beberapa lembaga investigasi penting langsung di bawah kendali Kantor Perdana Menteri.
Untuk kembali berkuasa pada Juli 2024, ia terpaksa berkoalisi dengan partai saingannya, Nepali Congress. Koalisi yang rapuh ini menandai terkikisnya dominasi politik yang pernah ia nikmati.