Ragam Sikap Negara yang Warganya Bergabung dengan ISIS dan Mau Pulang

Surabaya, IDN Times - Berita tentang keinginan sejumlah bekas jihadis dan simpatisan kelompok teroris ISIS asal Indonesia kembali ke Tanah Air, menimbulkan beragam reaksi dari masyarakat. Di satu spektrum, ada yang menolak keras jika pemerintah menerima mereka kembali.
Tak sedikit yang mengecam keputusan mereka untuk meninggalkan Tanah Air demi bergabung dengan ISIS di Timur Tengah. Di spektrum berbeda, ada yang berpendapat mereka sebaiknya diterima dengan berbagai pertimbangan.
Misalnya, menurut Alissa Wahid, harus "ada asesmen" untuk mengetahui motif dan apa saja yang mereka lakukan selama berada di Suriah.
"Kan ada orang-orang yang berangkat ke sana dibawa oleh pimpinannya atau keluarganya. Kalau sebagai pengikut kan hidupnya pasti traumatik di sana. Nah, orang-orang seperti ini harus disembuhkan, terus pulang ke Indonesia,” tambahnya.
Sebenarnya, pro dan kontra tentang apa yang harus dilakukan pemerintah kepada warga negaranya yang menjadi jihadis atau simpatisan ISIS tidak hanya terjadi di Indonesia. Sejumlah negara Eropa dan Amerika Serikat juga merasakan dilema serupa. Mereka memperlihatkan keengganan, bahkan penolakan.
1. Inggris mencabut kewarganegaraan Shamima Begum
Salah satu kasus populer yang menjadi perbincangan di antara masyarakat Inggris, bahkan internasional, adalah tentang Shamima Begum. Ia meninggalkan London, bergabung dengan ISIS dan menikah dengan salah satu pejuangnya pada 2015 ketika usianya masih 15 tahun.
Pada awal 2019, Begum ditemukan di sebuah kamp pengungsi Suriah dalam keadaan hamil tua. Kepada BBC, Begum mengaku ingin pulang dan berharap anak laki-lakinya berkewarganegaraan Inggris. Namun, lama kemudian, bayinya meninggal karena pneumonia.
Pemerintah Inggris tidak menuruti keinginan Begum. Kementerian Dalam Negeri memutuskan untuk mencabut kewarganegaraan Begum karena mengira ia juga memegang paspor Bangladesh, yang kemudian dibantah oleh Dhaka.
Inggris akhirnya membuka kesempatan untuk Begum mendapatkan bantuan hukum agar bisa mengajukan banding atas keputusan tersebut. Menteri Luar Negeri Inggris, Jeremy Hunt, sendiri berkata pemberian bantuan hukum itu membuatnya merasa “sangat tidak nyaman”.
Namun, ia menambahkan bahwa Inggris merupakan “negara yang percaya bahwa orang dengan kemampuan terbatas seharusnya diberi akses ke sumber daya negara, jika mereka ingin menantang keputusan yang dibuat negara”.