Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana (IDN Times/Irfan Fathurohman)
Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Jakarta, IDN Times - Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, menyayangkan posisi Indonesia yang mendukung resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terkait situasi di Ukraina.

Muatan utama dalam resolusi tersebut adalah mengecam Rusia yang melakukan invasi ke Ukraina dan Presiden Vladimir Putin yang menyiagakan pasukan nuklirnya. Resolusi itu didukung 141 negara, 5 menentang, dan 35 lainnya abstain.

“Posisi Indonesia dalam voting resolusi ini adalah mendukung. Patut disayangkan,” kata Hikmahanto kepada IDN Times, Kamis (3/3/2022).

1. Setiap pihak diyakini memiliki landasan hukum yang kuat

Seorang anggota tentara Rusia menembakkan sebuah howitzer dalam latihan militer di Kuzminsky di selatan Rostov, Rusia, Rabu (26/1/2022). ANTARA FOTO/Sergey Pivovarov/File Photo.

Poin pertama yang disorot Hikmahanto adalah istilah kecaman yang digunakan dalam resolusi tersebut. Alih-alih menggunakan kata condemn atau mengutuk, resolusi itu, malah menggunakan kata deplore atau disayangkan.

“Kata deplore lebih lunak dari pada condemn,” ujar Hikmahanto.

Selain itu, dia juga memiliki empat argumen kenapa Indonesia harusnya memilih abstain daripada mendukung resolusi tersebut.

“Pertama, seolah Indonesia berada dalam posisi sebagai hakim terkait serangan Rusia, dan menentukan tindakan tersebut sebagai salah. Padahal, dua negara yang berseteru pasti memiliki justifikasi berdasarkan Piagam PBB dan hukum internasional,” ujar dia.

Terlepas dari siapa yang benar dan salah, Hikmahanto meyakini, Rusia tidak menyatakan agresi atau melanggar integritas wilayah lain.

“Ini karena perang agresi pasca-Perang Dunia II telah disepakati untuk dilarang. Sehingga perang hanya boleh untuk dua hal saja, yaitu dimandatkan oleh (Dewan Keamanan) PBB atau dalam rangka membela diri (self-defence),” ungkapnya.

2. Mempersempit peluang Indonesia memainkan peran sebagai juru damai

Anggota tentara Rusia mengendarai kendaraan bersenjata amfibi multiguna MT-LB melewati tank saat latihan militer di Kuzminsky di selatan Rostov, Rusia, Rabu (26/1/2022). ANTARA FOTO/REUTERS/Sergey Pivovarov/File Photo.

Alasan kedua, posisi mendukung berarti menempatkan Indonesia selayaknya ‘antek-antek’ Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Padahal, sebagai negara yang mengusung politik luar negeri bebas-aktif, Indonesia seharusnya menjaga jarak dalam perseteruan Rusia-Ukraina.

“Indonesia tidak perlu melibatkan diri dalam pertikaian dua negara, layaknya AS dan kawan-kawan yang cenderung berpihak pada Ukraina,” ungkap Hikmahanto.

Selain itu, dukungan terhadap resolusi ini akan mempersulit Indonesia memainkan perannya sebagai mediator atau juru damai.

“Iya betul, harusnya Indonesia abstain,” kata Hikmahanto, seraya mengatakan Rusia akan melihat Indonesia sebagai negara yang berpihak kepada AS, sehingga mempersempit peluang Jakarta bisa duduk berdampingan dengan Moskow dan Kiev mendamaikan konflik ini.

3. Posisi Kemlu disebut bertentangan dengan pesan Presiden

Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Alasan ketiga, Indonesia seolah tidak belajar dari sejarah yang pernah dialami pada masa lalu, tepatnya ketika Indonesia bersengketa dengan Timor Timur (Timtim).

“Ketika itu, narasi yang digunakan Indonesia adalah rakyat Timtim berkeinginan untuk bergabung ke Indonesia (integrasi). Namun, oleh AS dan kawan-kawan dihakimi sebagai aneksasi,” kata Hikmahanto.

Terakhir, posisi yang diambil Perwakilan Indonesia di PBB tidak sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, yang melalui cuitannya pada 24 Februari 2022 menghendaki setop perang.

“Maknanya, presiden tidak merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB, yang mewajibkan negara agar menahan diri dari penggunaan kekerasan (perang) dalam melakukan hubungan internasional terhadap integritas wilayah negara lain,” paparnya.

Hikmahanto menyambung, “Presiden lebih merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB, yang mewajibkan negara untuk menyelesaikan sengketa secara damai, sehingga tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional.”

Editorial Team