Tenaga kesehatan memakai Alat Pelindung Diri (APD) mengambil tes swab dari pekerja pabrik tepung, di tengah penyebaran penyakit virus korona (COVID-19) di desa Moriya pinggiran kota Ahmedabad, India, Senin (14/9/2020) (ANTARA FOTO/REUTERS/Amit Dave)
Berdasarkan catatan Pandemic Talks, salah satu yang menyebabkan kasus COVID-19 di India bisa menurun karena mereka mampu melakukan 5,2 juta tes setiap minggunya. Pemerintah ikut menggandeng laboratorium milik swasta untuk meningkatkan kapasitas lab.
"Selama periode lockdown (Maret - Juni 2020) jumlah laboratorium telah bertambah hampir 10 kali lipat dari yang semula hanya 123 pada Maret, kemudian meningkat menjadi 1.000 pada Juni 2020 lalu. Pemerintah terus menggenjot kapasitas lab sehingga pada Januari 2021 sudah ada 2.360 lab yang melayani sampel diagnosis COVID-19," demikian ujar Pandemic Talks di akun media sosialnya pada Minggu kemarin.
Selain itu, Pemerintah India menggunakan strategi untuk menggabungkan rapid test antigen dengan tes PCR. Hasilnya, kasus positif COVID-19 bisa ditemukan dengan cepat. Salah satu metodenya yaitu bila orang yang kontak erat dengan individu yang tertular dinyatakan negatif melalui rapid antigen, maka warga tetap wajib menjalani tes PCR hingga ditemukan hasil negatif.
India juga disebut memiliki sumber daya manusia yang berlimpah dan berkualitas. 80 persen kontak erat mampu dideteksi hanya dalam kurun waktu tiga hari sejak kasus ditemukan. "Pemerintah India merekrut 1 juta tenaga tracer di mana terdapat 75 orang tracer untuk 100 ribu orang penduduk. Tenaga tracer itu sudah dilatih untuk mendeteksi kontak erat dengan pasien positif dengan sangat cepat," kata Pandemic Talks.
India memang sudah melonggarkan pembatasan pergerakan penduduk, tetapi hal itu diimbangi dengan dilakukan tes dan pelacakan yang massif dan cepat baik kepada individu yang bergejala maupun yang tak bergejala. Sementara, bila ada wilayah yang ditemukan memiliki kasus COVID-19 yang tinggi, maka kebijakan lockdown pun kembali diberlakukan.