ilustrasi wilayah Ambalat antara Indonesia dan Malaysia (dok. Google Maps)
Sebagai sesama anggota ASEAN, Indonesia dan Malaysia terikat pada prinsip penyelesaian damai. Kadir menegaskan bahwa pendekatan konfrontatif bukan pilihan Indonesia.
“Hubungan antara negara itu tidak jauh berbeda seperti hubungan dengan tetangga atau saudara. Pasti ada dinamika. Tapi yang penting kita optimistis bahwa kedua pemimpin memiliki etikat dan komitmen yang kuat untuk menyelesaikan ini secara baik,” jelasnya.
Ia menolak anggapan bahwa klaim tumpang tindih ini adalah aksi sepihak yang mendadak. Menurutnya, ini adalah akibat dari batas laut yang memang belum disepakati secara resmi.
“Ini memang persoalan yang belum selesai. Batasnya memang belum ada. Jadi kita wajib untuk terus merundingkan. Itu yang terpenting,” katanya.
Kadir juga menyampaikan bahwa proses kerja sama dan dialog antara kedua negara masih terus berlangsung. Ia menggarisbawahi bahwa semua solusi terbaik akan diupayakan, selama masih dalam kerangka hukum internasional.
“Kita melihat segala kemungkinan, dan berusaha mencari solusi terbaik bagi kedua negara, sesuai hukum internasional. Saya tidak bisa berspekulasi (lama negosiasi), tapi yang pasti proses perundingan ini masih berjalan,” ujarnya.
Sebagai penutup, ia meminta publik bersabar dan memahami bahwa perundingan batas wilayah laut memang membutuhkan waktu panjang dan ketelitian.
“Perundingan perbatasan itu memiliki kompleksitas teknis yang sangat sulit sekali. Tidak mudah. Dan saya sulit sekali untuk menyampaikannya secara ringkas di sini,” ujarnya.
Sementara itu, terkait dengan isu yang saat ini sedang merebak adalah adanya ‘bahaya’ karena Malaysia menyebut Ambalat sebagai Laut Sulawesi. Jika menilik peta, memang tak ada yang namanya Laut Ambalat, adanya hanya Laut Sulawesi, dan penamaan tersebut memang sah karena memang blok Ambalat ini berada di Laut Sulawesi.