Situasi di Xinjiang sendiri sebenarnya memang kompleks. Namun, tak sedikit yang meyakini bahwa perlakuan pemerintah di Beijing terhadap warga Uighur, serta kelompok minoritas lainnya dilatarbelakangi oleh faktor etnis. Menurut sejumlah aktivis, kegiatan kebudayaan dan keagamaan di Xinjiang selalu mendapat batasan sangat ketat.
Salah satu yang pernah menjadi perhatian internasional adalah larangan memberikan nama bernuansa Islam kepada anak. Tapi di sisi lain, profil presiden Tiongkok, Xi Jinping, terus ditampilkan sebagai sosok penyelamat yang tak tergantikan.
Indoktrinasi ini yang diduga terjadi di sejumlah kamp pendidikan di mana satu juta warga Uighur ditawan. Bekas tawanan, Kayrat Samarkand, mengatakan kepada Washington Post bahwa ia tinggal di asrama dengan 14 laki-laki lainnya. Petugas menggeledah ruangan, lalu memaksa mereka belajar tentang "semangat dari Kongres Partai ke-19".
Pada kongres itu, Xi berkoar-koar tentang dogma politik selama tiga jam. Setelah itu, mereka juga harus menyanyikan lagu-lagu Partai Komunis, termasuk meneriakkan yel-yel "Jayalah Xi Jinping". Samarkand mengaku siapapun yang menolak akan "diborgol tangan dan kakinya selama 12 jam".