Potret petugas medis, dibagikan oleh akun Twitter Kementerian Kesehatan Singapura. Twitter.com/sporeMOH
Sekitar 95 persen korban positif COVID-19 di Singapura terjadi di kalangan pekerja migran yang rata-rata berusia sekitar 20 – 30 tahun. Mereka pun tinggal di asrama sempit dan bekerja dalam sektor padat karya seperti konstruksi dan pembuatan kapal.
Sementara itu, parameter penyakit yang terus dipelajari secara global menunjukkan bahwa dampak virus biasanya tidak terlalu parah bila mengenai orang yang berusia relatif muda. Bahkan banyak diantaranya yang hanya menunjukkan sedikit gejala atau tidak sama sekali.
Deteksi dini menggunakan pelacakan dan pengujian yang agresif telah dilakukan oleh Singapura sejak dini, hingga mendapatkan pujian dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Penghuni asrama telah menjalani tes rostered, pihak berwenang telah melakukan pengujian massal di antara komunitas yang rentan seperti panti jompo, sedangkan siapapun yang berusia di atas 13 tahun dengan tanda-tanda infeksi saluran pernapasan akut ditawarkan tes gratis.
"Semakin banyak kami mendiagnosis, maka semakin rendah angka kematiannya," kata Hsu Li Yang, dari Sekolah Kesehatan Masyarakat Saw Swee Hock di Universitas Nasional Singapura.
Pendekatan pre-emptive atau antisipasi dalam mencegah sesuatu, juga diterapkan pada sistem pengobatan. Misalnya pasien berusia diatas 45 tahun yang memiliki kondisi rentan, akan dirawat di rumah sakit meski pada saat itu kondisinya sedang baik, ungkap dokter.
"Perawatan kami konvensional tetapi dilakukan dengan baik; manajemen cairan, antikoagulasi dan obat yang terbukti, serta partisipasi dalam uji coba obat," kata Dale Fisher, konsultan senior di National University Hospital, Singapura.
Singapura diketahui memiliki fasilitas kesehatan umum berkualitas tinggi. Negara itu juga telah membangun ruang untuk pasien virus di tempat pameran yang luas dan menampung mereka yang memiliki gejala ringan atau tanpa gejala. Sistem ini mencegah perawatan kesehatan kewalahan sehingga perhatian dapat lebih difokuskan pada mereka yang lebih parah.
Masker telah menjadi benda wajib dikenakan di tempat umum sejak bulan April di negara itu yang dibarengi dengan disiplin dalam menerapkan jarak sosial.
"Kami telah mengadopsi budaya masker yang baik di Singapura. Hal ini membuat penyakitnya lebih ringan (terkendali)," kata Leong Hoe Nam, pakar penyakit menular di Rumah Sakit Mount Elizabeth.
Singapura berpegang teguh pada definisi kasus WHO untuk mengklasifikasikan kematian akibat COVID-19. Namun, mereka tidak memasukkan kematian non-pneumonia seperti yang disebabkan oleh masalah darah atau jantung di antara pasien COVID-19 dalam penghitungan resminya.
"Saya yakin jika WHO merevisi definisi kasusnya, beberapa kematian non-pneumonia akan diklasifikasikan ulang dan angka kematian akan berubah," kata Paul Tambyah, presiden Asia Pacific Society of Clinical Microbiology and Infection, tanpa menyebutkan secara spesifik seberapa besar kemungkinannya akan bergeser.