Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Bendera Suriah
Ilustrasi Bendera Suriah (freepik.com/wirestock)

Intinya sih...

  • Israel ambil alih zona penyangga di Suriah pasca-lengsernya Presiden Bashar al-Assad, memicu serangan udara dan konflik di perbatasan.

  • Presiden Ahmad al-Sharaa merupakan mantan komandan al-Qaida, transisi politik Suriah masih rapuh dengan pecah bentrokan sektarian.

  • Israel melancarkan serangan udara untuk melindungi komunitas Druze, situasi mereda setelah gencatan senjata dimediasi Amerika Serikat dan negara lain.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Menteri Luar Negeri Suriah, Asaad al-Shibani, dilaporkan mengadakan pertemuan langka dengan delegasi Israel di Paris, Selasa (19/8/2025). Menurut kantor berita resmi Suriah, SANA, pertemuan tersebut dimediasi Amerika Serikat yang tengah mendorong normalisasi hubungan antara kedua negara.

Dalam laporan itu disebutkan, pembahasan utama mencakup langkah menurunkan ketegangan dan memulihkan kembali perjanjian gencatan senjata 1974. Pertemuan ini menjadi yang pertama dilaporkan secara resmi sejak rezim baru Suriah berdiri pasca-lengsernya Bashar al-Assad pada Desember lalu.

Pihak Israel sejauh ini belum memberikan konfirmasi atas pertemuan tersebut. Namun, para pejabat Suriah sebelumnya telah mengakui adanya pembicaraan tidak langsung dengan Israel untuk meredakan ketegangan di perbatasan.

1. Ketegangan meningkat sejak jatuhnya Assad

Bendera Israel (pexels.com/Andrew Patrick Photo)

Hubungan Suriah dan Israel kian memanas sejak lengsernya Presiden Bashar al-Assad. Tak lama setelah peristiwa itu, pasukan Israel mengambil alih zona penyangga yang diawasi PBB di wilayah Suriah, serta melancarkan serangan udara ke sejumlah lokasi militer.

Dilansir dari Korean Herald, Rabu (20/8/2025), Israel beralasan, langkah itu perlu dilakukan untuk menciptakan zona demiliterisasi di selatan Damaskus, dan mencegah kelompok bersenjata pro-Iran kembali menguat di perbatasan.

2. Pemerintahan baru Suriah masih diragukan

Ilustrasi bendera Suriah. (commons.wikimedia.org/This file is licensed under the Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 Unported license)

Presiden Suriah saat ini, Ahmad al-Sharaa, merupakan mantan komandan al-Qaida yang telah memutus hubungan dengan kelompok tersebut sejak beberapa tahun lalu. Ia berjanji membangun negara baru yang menghormati hak-hak minoritas.

Meski begitu, transisi politik Suriah masih rapuh. Beberapa kali pecah bentrokan sektarian, termasuk di Provinsi Sweida bulan lalu, yang mempertemukan klan Badui dan pasukan pemerintah melawan kelompok bersenjata dari minoritas Druze.

3. Israel terlibat langsung dalam konflik Sweida

pasukan Suriah di Kota Sweida. (Syrian Ministry of Interior, Public domain, via Wikimedia Commons)

Konflik di Sweida mendorong Israel meningkatkan intervensinya. Israel mengaku bertindak untuk melindungi komunitas Druze, yang juga menjadi salah satu kelompok minoritas setia di Israel.

Pasukan Israel melancarkan puluhan serangan udara terhadap konvoi militer Suriah di sekitar Sweida, bahkan menghantam markas besar Kementerian Pertahanan Suriah di jantung ibu kota Damaskus.

Situasi baru mereda setelah gencatan senjata dimediasi Amerika Serikat, Turki, dan sejumlah negara Arab.

Perselisihan Suriah–Israel tidak bisa dilepaskan dari status Dataran Tinggi Golan. Wilayah strategis itu direbut Israel pada Perang Arab-Israel 1967 dan dianeksasi pada 1981.

Aneksasi tersebut hanya diakui oleh Amerika Serikat, sementara komunitas internasional tetap memandang Golan sebagai wilayah Suriah yang diduduki.

Editorial Team