Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Muslim Uighur di Xinjiang, Tiongkok, 11 Juli 2019. (IDN Times/Uni Lubis)

Beijing, IDN Times Di tengah tuntutan untuk memberikan akses kepada investigator dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke Xinjiang, Tiongkok, seorang pejabat senior dari provinsi tersebut mengklaim bahwa mayoritas warga Uighur yang dibawa ke kamp detensi "sudah kembali ke masyarakat".

Klaim tersebut disampaikan, Selasa (30/7). Tapi, menurut laporan Reuters, ia menolak untuk memberikan perkiraan mengenai jumlah orang yang ditawan di fasilitas tersebut dalam beberapa tahun terakhir.

1. Tiongkok mengatakan mereka sudah mendapatkan pekerjaan

Sebuah tank militer milik Tiongkok tampak berada di pinggir jalan di Provinsi Xinjiang, Tiongkok. ANTARA FOTO/REUTERS/David Gray

Alken Tuniaz, pejabat senior Xinjiang yang memberikan keterangan dalam sebuah pembekalan pers di Beijing, mengatakan bahwa jumlah warga Uighur di kamp-kamp yang mereka sebut sebagai pusat pelatihan itu "dinamis".

Tuniaz menekankan, saat ini mereka "berhasil mendapatkan pekerjaan" setelah tak lagi tinggal di lokasi yang dicurigai PBB sebagai kamp detensi.

Transkrip pernyataan Tuniaz yang beredar di kalangan reporter menggunakan istilah "lulus" seolah warga sipil itu mengikuti pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Tiongkok.

"Saat ini, mayoritas orang yang menerima pelatihan sudah kembali ke masyarakat, sudah pulang ke rumah," kata Tuniaz. 

2. Beijing menyebut negara asing menyebarkan berita bohong soal Xinjiang

Gedung yang diklaim sebagai lokasi pendidikan vokasi warga Muslim Uighur. IDN Times/Uni Lubis

Ia pun menuding negara-negara lain yang menggunakan istilah berbeda untuk merujuk pada fasilitas pemerintah itu, sebagai pihak dengan "motif tersembunyi" terhadap Tiongkok.

"Negara-negara dan media asing punya motif tersembunyi, membolak-balikkan kebenaran dan kekeliruan, serta menghina dan mencemarkan nama baik (Tiongkok)," tambahnya.

Sebelumnya, tudingan yang sama juga dilontarkan media milik pemerintah Tiongkok, Global Times. Dalam sebuah rilis redaksi, media propaganda Beijing itu menyebut semua laporan dari negara-negara Barat soal muslim di Provinsi Xinjiang adalah "berita palsu". 

"Tidak peduli usaha Tiongkok untuk memberitahukan apa yang benar-benar terjadi di Xinjiang, beberapa media dan politisi Barat kukuh membuat dan menyebarkan berita bohong," tulis redaksi Global Times.

3. Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mempertanyakan bukti klaim itu

NTARA FOTO/Andy Wong/Pool via REUTERS

Mendengar klaim dari Beijing tersebut, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengaku ragu. Pasalnya, tidak ada bukti konkret untuk menguatkan klaim itu.

"Kami tidak bisa melakukan verifikasi terhadap klaim tidak jelas yang dikeluarkan oleh pejabat senior Tiongkok, terkait pembebasan mereka yang ditawan secara paksa."

Kementerian Luar Negeri AS pun meminta agar Tiongkok membuka pintu untuk investigasi. "Untuk asesmen klaim itu, Pemerintah Tiongkok sebaiknya mengizinkan Komisioner Tinggi HAM PBB akses luas dan bebas ke seluruh kamp dan semua orang yang ditawan -- yang mana ini belum juga terjadi."

4. Amnesty International turut meragukan klaim Tiongkok

Masjid di Uighur (IDN Times/Uni Lubis)

Dalam pernyataan resmi, Direktur Regional Asia Tenggara dan Timur dari Amnesty International, Nicholas Bequelin, menilai klaim Tuniaz "tidak kredibel". Salah satu sebabnya, pihak dia sama sekali belum menerima laporan dari lapangan tentang bebasnya warga yang sudah ditawan.

"Tiongkok membuat pernyataan menipu dan tak bisa diverifikasi dalam usaha sia-sia untuk menghilangkan kekhawatiran dunia terhadap detensi massal, yang dialami warga Uighur serta anggota kelompok etnis minoritas lainnya di Xinjiang."

5. Negara-negara Barat mengecam sikap Tiongkok

Situasi sebuah sekolah di Provinsi Xinjiang, Tiongkok, 11 Juli 2019. (IDN Times/Uni Lubis)

Pada awal Juli lalu, tercatat 22 duta besar negara-negara Barat di PBB menyampaikan surat bersama untuk mengecam perlakuan Tiongkok terhadap warga Uighur dan kelompok minoritas lainnya di Xinjiang. Negara-negara itu antara lain adalah Prancis, Jerman, Belgia, dan Islandia.

Menurut laporan PBB, kurang lebih satu juta orang muslim Uighur ditawan Pemerintah Tiongkok. Mereka diduga dipaksa melepaskan keyakinan dan identitas asli, untuk kemudian diwajibkan mengidentifikasi diri sebagai orang Tiongkok.

Mereka disebut harus menggunakan bahasa Mandarin. Terkait hal ini, 22 negara tersebut menyatakan keinginan agar Tiongkok menghentikan penawanan secara sepihak. Begitu juga praktik pengintaian terhadap kelompok Uighur serta warga muslim minoritas lainnya di Xinjiang.

Editorial Team

EditorSunariyah