Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Presiden AS, Donald Trump. ( The White House, Public domain, via Wikimedia Commons)
Presiden AS, Donald Trump. ( The White House, Public domain, via Wikimedia Commons)

Intinya sih...

  • Fentanil disebut membahayakan keamanan AS.

  • Kritikus menilai label WMD tidak perlu.

  • Dikhawatirkan jadi dalih invasi militer di Amerika Selatan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif yang mengklasifikasikan fentanil ilegal sebagai senjata pemusnah massal atau Weapon of Mass Destruction (WMD). Penetapan dilakukan pada Senin (15/12/2025), dengan tujuan memberikan otoritas lebih bagi pemerintah federal untuk memburu jaringan perdagangan narkoba.

Pemerintahan Trump berargumen fentanil ilegal kini lebih mirip dengan senjata kimia dibandingkan sekadar narkotika. Trump menginstruksikan para petinggi kementerian, termasuk Jaksa Agung dan Menteri Perang, untuk segera mengerahkan sumber daya guna memusnahkan ancaman zat mematikan tersebut.

1. Fentanil disebut membahayakan keamanan AS

perbandingan dosis mematikan heroin, carfentanil dan fentanil (United States Drug Enforcement Administration, Public domain, via Wikimedia Commons)

Tingkat kematian akibat fentanil dinilai telah sangat tinggi dan menguntungkan aktor non-negara. Dalam dokumen perintah eksekutif, disebutkan bahwa dua miligram fentanil, jumlah yang setara dengan 10 hingga 15 butir garam meja, sudah cukup mematikan.

Pemerintah AS menuduh produksi dan distribusi fentanil dilakukan oleh organisasi teroris asing serta kartel untuk mendanai operasi mereka. Dana tersebut diklaim digunakan untuk aksi pembunuhan, terorisme, hingga pemberontakan yang mengancam keamanan AS.

“Hari ini saya mengambil satu langkah lagi untuk melindungi warga Amerika dari momok fentanil mematikan yang membanjiri negara kita dengan perintah eksekutif bersejarah ini, tidak ada bom yang memiliki dampak seperti (fentanil) ini,” ujar Trump, dilansir CNN.

Perintah tersebut juga mengarahkan Jaksa Agung Pam Bondi untuk segera melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap perdagangan fentanil. Selain itu, Menteri Luar Negeri Marco Rubio dan Menteri Keuangan Scott Bessent diperintahkan memburu aset serta institusi keuangan yang mendukung jaringan ini.

2. Kritikus menilai label WMD tidak perlu

ilustrasi bendera Amerika Serikat. (unsplash.com/Brandon Mowinkel)

Pengamat mempertanyakan dampak praktis dari pelabelan WMD ini terhadap penegakan hukum di lapangan. Hukum AS saat ini diketahui sudah mengkriminalisasi penggunaan senjata pemusnah massal dengan hukuman maksimal pidana mati.

Selain itu, presiden dinilai tidak memiliki wewenang untuk mengubah definisi hukum pidana melalui perintah eksekutif semata. Definisi WMD dalam hukum yang berlaku mencakup senjata yang melibatkan agen biologis, racun, atau vektor, sementara perubahan status narkotika biasanya memerlukan tindakan Kongres.

Mantan jaksa keamanan nasional AS, Dennis Fitzpatrick, menyebut langkah ini lebih bersifat politis ketimbang solusi hukum yang substansial. Ia menilai aturan yang ada saat ini sebenarnya sudah sangat jelas dan teruji untuk menangani kasus perdagangan narkoba.

“Kita sudah memiliki undang-undang yang teruji, yang biasa digunakan oleh jaksa dan agen, hukum itu sangat jelas dan mencapai tujuan yang sama, tidak ada alasan praktis untuk melabeli fentanil sebagai senjata pemusnah massal,” tutur Fitzpatrick, dilansir CNN.

Faktanya, data pemerintah federal menunjukkan kematian akibat overdosis di AS justru mencapai titik terendah dalam lima tahun terakhir. Namun, fentanil sendiri masih menjadi penyebab utama dalam sebagian besar kasus overdosis yang tercatat.

3. Dikhawatirkan jadi dalih invasi militer di Amerika Selatan

bendera Venezuela (unsplash.com/aboodi vesakaran)

Menurut Politico, pelabelan fentanil sebagai WMD juga dikhawatirkan akan dimanfaatkan sebagai dalih untuk melancarkan serangan militer ke negara lain. Trump sebelumnya telah berulang kali mengancam akan melakukan serangan darat di Meksiko atau Venezuela untuk menumpas kartel narkoba.

Pemerintahan Trump menuduh kartel yang beroperasi di Venezuela menyelundupkan fentanil ke AS, sebuah klaim yang digunakan untuk membenarkan operasi militer mematikan di Laut Karibia. Namun, Venezuela selama ini lebih dikenal sebagai jalur perdagangan kokain, bukan fentanil.

John Walsh, direktur kebijakan narkoba di Washington Office on Latin America (WOLA), membantah klaim adanya aliran fentanil dari wilayah tersebut. Menurut The Guardian, sumber utama fentanil adalah Meksiko dan bahan bakunya berasal dari China, bukan Amerika Selatan.

"Agar benar-benar jelas, tidak ada fentanil yang datang dari Venezuela atau tempat lain di Amerika Selatan," tegas Walsh dalam sebuah pengarahan ahli, dilansir Al Jazeera.

Langkah Trump ini dinilai mirip dengan invasi Irak tahun 2003, di mana klaim kepemilikan WMD digunakan sebagai alasan utama penggulingan Saddam Hussein. Kini, deklarasi fentanil sebagai WMD dikhawatirkan akan memuluskan jalan bagi intervensi militer AS yang lebih agresif di kawasan Amerika Latin.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team