Penggunaan energi tak terbarukan seperti bahan bakar fosil diketahui menyumbang sejumlah dampak jangka panjang yang destruktif. Antara lain emisi gas rumah kaca (GRK), polutan udara yang berakibat fatal terhadap kesehatan penghirupnya, serta pencemaran air dan tanah akibat proses ekstraksi dan transportasi bahan bakar fosil tersebut.
Di samping dampaknya yang mengkhawatirkan, cadangan minyak saat ini pun sudah mulai menipis. Hal tersebut tentu mendesak pemerintah untuk segera mencari energi alternatif demi kelangsungan hidup negara.
Sebagai negara tropis dengan sinar matahari yang bersinar di sepanjang tahun, Indonesia memiliki potensi yang luar biasa dalam optimalisasi energi surya sebagai sumber energi terbarukan. Hal ini mendorong pemerintah untuk menetapkan target bauran energi terbarukan (EBT) sebanyak 23 persen pada 2025, dan menuju Indonesia zero carbon emission (netral karbon) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Demi mencapai target di atas, komisi VII DPR mengajukan Rancangan Undang-Undang Energi Terbarukan (RUU EBT), yang kemudian berubah nama menjadi Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dan sudah memasuki tahap harmonisasi.
Dilansir keterangan kementerian ESDM pada rapat pleno 17 Maret 2022, energi baru yang disematkan dalam RUU tersebut mencakup energi nuklir, hidrogen, gas metana batubara (coal bed methane), batu bara tercairkan (coal liquefaction), batu bara tergaskan (coal gasification), dan Sumber Energi Baru lainnya.