Bijak Bermedia Sosial Itu Harus agar Mental Tetap Terurus

Media sosial saat ini sangat melekat dalam kehidupan manusia. Wajar saja, tak hanya menawarkan kemudahan dalam berkomunikasi dan memperluas relasi, media sosial juga menyediakan informasi, edukasi, serta ruang untuk menunjukkan eksistensi diri.
Tak heran jika penggunaan media sosial di dunia, termasuk Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Melansir laman Datare Portal, pengguna media sosial di Indonesia pada awal tahun 2022 mencapai angka 191,4 juta. Jumlah ini meningkat 12,6 persen dari tahun sebelumnya.
Harus diakui kehadiran media sosial membawa banyak manfaat bagi penggunanya. Namun di balik itu, kita tak bisa menutup mata atas dampak negatif yang menyertainya. Benar saja, media sosial bisa menjadi momok bagi kesehatan mental penggunanya, terutama kalangan muda.
Gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, kesepian, dan takut tertinggal (FOMO) sangat mungkin terjadi pada seseorang yang kecanduan bermain media sosial. Bahkan rasa candu pada media sosial diperkirakan berpotensi melebihi alkohol dan rokok (centreformentalhealth.org.uk).
Sadar atau tidak, kita kerap kali merasa resah jika belum mengecek media sosial, meski sekadar melihat notifikasi atau scrolling postingan tanpa tujuan pasti. Rasa ingin tahu yang tinggi akan kabar terbaru di media sosial mendorong kita untuk terpaku menatap layar smartphone berulang kali. Setelah keresahan itu terobati, kita seolah terhipnotis dan terus menjelajahi media sosial tanpa henti.
Media sosial membuka celah untuk kita membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Kita mungkin merasa insecure setelah melihat kehidupan sempurna yang ditampilkan orang lain di media sosial. Kita bisa menjadi rendah diri setelah melihat postingan manusia cerdas nan berprestasi.
Kita juga cemas ketika kita ketinggalan tren yang sedang ramai digandrungi. Pada momen tertentu, kita pun lelah untuk terus berusaha terlihat sempurna di media sosial demi mendapat validasi. Lebih parahnya lagi, kondisi ini berpotensi akan membawa kita pada titik depresi.
Inilah ancaman mental yang kadung menghantui. Candu media sosial yang akan menggerus kesehatan mental kita secara perlahan tapi pasti. Lalu, apa yang bisa kita perbuat? Bijak bermedia sosial bisa jadi solusi yang tepat. Bijak mengelola waktu, pikiran, dan emosi saat bermain media sosial untuk menjaga mental tetap sehat.
Hilangkan candu, puasa media sosial itu perlu
Pernahkah terpikir untuk sejenak meninggalkan media sosial? Jika iya, lakukan! Puasa media sosial diperlukan jika kita merasa pada titik mental yang mengkhawatirkan. Cobalah untuk beberapa hari menjauhkan diri dari ingar-bingar dunia maya. Mulailah menyibukkan diri dengan aktivitas di dunia nyata seperti menghabiskan lebih banyak waktu bersama teman dan keluarga, atau menikmati me time dengan membaca buku, menulis, berolahraga, dan lain sebagainya.
Memang sulit untuk terlepas dari media sosial dengan segala daya tariknya, meski hanya sementara. Namun, jika kita bisa melakukannya, mental kita akan merasakan dampak baiknya. Sebuah riset dari laman psypost.org memaparkan bahwa terdapat penurunan gejala kecemasan, kesepian, dan depresi pada orang yang berhenti bermedia sosial selama satu minggu.
Tak sebatas itu saja, berhenti atau mengurangi waktu bermain media sosial juga bermanfaat bagi fisik kita. Kesehatan tubuh akan lebih terjaga setelah kebiasaan begadang akibat kecanduan media sosial bisa diatasi.
Mata juga menjadi lebih sehat setelah paparan cahaya dari layar smartphone berhasil kita kurangi. Lebih luas lagi, puasa media sosial juga meningkatkan kualitas hubungan dengan orang-orang di sekitar yang mungkin sudah lama tak kita ajak bercengkerama kembali.
Tak perlu terburu-buru jika dirasa belum mampu untuk langsung berhenti selama satu minggu. Kita bisa memulai langkah awal dengan membatasi waktu bermedia sosial secara perlahan dan bertahap hingga kita bisa mengontrol penggunaan yang berlebihan.