Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan mental didefinisikan sebagai suatu kondisi (status) sehat utuh secara fisik, mental, dan sosial yang berarti tidak hanya bebas dari penyakit, cacat, maupun kelemahan secara fisik semata. Adapun karakteristik kesehatan mental yang baik menurut American Psychological Association (APA) antara lain seperti memiliki respon emosional yang wajar, bersifat terbuka dan fleksibel, serta mampu menjalin interaksi dengan lingkungannya secara sehat.
Dengan melihat definisi serta karakteristik kesehatan mental tersebut, mungkin hal ini terdengar mudah untuk diwujudkan atau dianggap tidak penting bagi sebagian orang. Hal ini bukan tanpa alasan, sebagai buktinya saja menurut survei yang dilakukan Time to Change Campaign di Inggris yang mana menyasar 1.100 orang tua dengan anaknya yang berusia 6 sampai dengan 18 tahun menunjukkan jika 55 persen keluarga tidak pernah membicarakan kesehatan mental di dalam keluarganya bahkan sebanyak 20 persen diantaranya mengaku bingung dan tidak tahu bagaimana cara membicarakannya.
Bayangkan hal tersebut terjadi di Inggris yang notabene adalah negara maju sedangkan bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Sepertinya cukup mengkhawatirkan, sebab data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018, menggambarkan jika lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.
Lebih lanjut lagi, data dari Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI pada tahun 2018 menunjukkan bahwa tindak kekerasan yang dilakukan orang tua dalam mendidik anak, urutan pertama didapatkan hasil bahwa 41,86 % orang tua masih membentak dan menakuti, serta 12,44% memanggil bodoh dan lain-lain kepada anak-anaknya. Adapun kondisi ini berpotensi untuk membuat sang anak terkena gangguan mental kedepannya.
Tidak hanya anak saja, orang tua di Indonesia sepertinya juga memiliki kondisi mental yang cukup memprihatinkan, contohnya saja selama masa pandemi COVID-19, survei yang dilakukan oleh sebuah platform riset pasar bernama Populix menunjukkan jika 56 persen ibu rumah tangga mengaku stres dan mengalami gejala kecemasan, sulit tidur, serta mudah marah yang mana faktor terbesar penyebabnya adalah masalah keuangan.
Hal ini cukup untuk menggambarkan jika keluarga di Indonesia sepertinya belum mampu menjadi tempat berlindung bagi para anggotanya bahkan sepertinya kondisi yang terjadi di Indonesia lebih buruk dari negara Inggris sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya.
Padahal sejatinya, keluarga adalah unit terkecil dari kehidupan sosial, intensitas berinteraksi antar anggota keluarga seharusnya juga merupakan yang paling sering dan seluruh hubungan tersebut sejatinya dilandasi atas dasar kasih sayang tanpa pamrih antar anggotanya sehingga harusnya menjadi tempat yang paling tepat untuk beristirahat dan berkeluh kesah melepaskan semua beban dan stres yang dihadapi, bukan justru menambahnya.