Hari ini kami membaca sebuah berita tentang seorang teman bernama M Zaadit Taqwa yang menipup peluit dan mengacungkan kartu kuning kepada Presiden saat menghadiri acara Dies Natalies ke-68 Universitas Indonesia. Menurut Zaadit tindakan tersebut dianggapnya sebagai pesan untuk Presiden terkait persoalan negeri.
Sebagian persoalan yang dimaksud adalah mengenai gizi buruk suku Asmat, dwifungsi TNI/Polri, hingga peraturan Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi tentang organisasi mahasiswa. Ia berharap pesannya dapat didengar oleh Presiden.
Lalu yang menggelitik adalah komentar netizen di salah satu media online yang menyebut Zaadit 'ingin viral', ada pula yang berkomentar 'cari sensasi', 'sok idealis'.
Oke, jadi ini seharusnya bagaimana? Saat secara baik-baik bertemu Presiden, dibilang mahasiswa 'dipangku dan dimanjakan', 'udah diajak makan enak makanya bungkam', saat sedikit 'nyeleneh' menyuarakan pesan malah dibilang 'cari sensasi' dan 'sok idealis'.
'Sok idealis'? Kami rasa itu bukan kata yang tepat. Bukankah harusnya masyarakat bangga memiliki generasi yang memiliki idealisme tinggi?
Kami rasa perlu, sudut pandang masyarakat kita diperluas agar tidak cepat menghakimi, agar tidak cepat terprovokasi. Kita ini hidup di negara yang memang terbagi menjadi pro dan kontra pemerintah, yang pro bukan berarti selalu membela pemerintah apa pun yang terjadi, jika salah pantas juga dikritik. Yang kontra juga bukan berarti selalu mengkritik membabi buta, kinerja yang bagus patut juga diapresiasi.