Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar (kiri) mencium Pemimpin Takhta Suci Vatikan Paus Fransiskus usai melakukan foto bersama di Masjid Istiqlal, Jakarta. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

Terlebih dahulu saya ingin menyampaikan mengapa saya tertarik menulis tentang topik ini. Saya jelas bukan seorang Imam Katolik, menjadi pengajar agama Katolik (Katekis) juga tidak pernah, meskipun memang telah sangat lama, sejak umur 10 tahun, artinya sudah 76 tahun menjadi orang Katolik.

Saya dibaptis, menjadi putera altar (misdinar), ikut koor, malah mejadi pemimpin koor di gereja saya waktu mahasiswa di Yogyakarta, Gereja Santa Theresia, Setjodiningratan (Kidul Lodji). Saya juga aktif di organisasi mahasiswa PKMRI, pernah jadi ketua umum Yogyakarta dan juga Komisaris PP Jawa Tengah. Bahkan saya ikut membantu pendirian cabang-cabang di Purwokerto (Universitas Sudirman), dan Surakarta (Sebelas Maret), menikah secara Katolik dan sampai sekarang menjalani kehidupan keluarga ke gereja hari Minggu, dan seterusnya, tetapi kembali tidak pernah jadi pengajar agama.

Meski demikian, saya kepengin menulis tentang ajaran Pope Francis dari membaca surat-sratensiklik dan exhortation beliau. Dan keinginan ini meningkat setelah membaca ensiklit terakhir Pope Francis, Dexit Nos, atau Kasih kemanusiaan dan ke Allah-an Tuhan Yesus kepada seluruh manusia tanpa kecuali, yang dikeluarkan Oktober 2024.

Bapa Suci menunjukkan warnanya sebagai seorang pastor di Metro Muenos Aires, Argentina, kota besar dengan daerah kumuh yang banyak dan padat penduduk melarat dan termarginalisasi. Beliau tidak kenal lelah berkunjung, mendengarkan keluhan dan cerita keluarga miskin setiap hari kerja, membagikan makanan dan pakaian yang terkumpul dari para donor dan menyebarkan kabar baik tentang penyelamatan melalui kasih Tuhan Yesus kepada kita semua, memberikan harapan.

Editorial Team

Tonton lebih seru di