ilustrasi membaca buku (pexels.com/Andrea Piacquadio)
Penulis teringat salah satu kutipan paling terkenal di film Dead Poets Society, ketika John Keating mengatakan ke murid-muridnya bahwa alasan kita menulis puisi karena pada dasarnya kita adalah umat manusia. Sastra menjadikan kita sebagai manusia yang sesungguhnya, manusia yang hidup melalui kata-kata dan menggunakannya untuk mengumpulkan berbagai hal yang indah di seluruh dunia.
Sastra sudah hidup dan menjadi bagian dari kebudayaan manusia bahkan sejak zaman aksara ditemukan. Manusia lahir dan hidup untuk sastra. Jepang punya Osamu Dazai, Miyazawa Kenji, Haruki Murakami, dan Akutagawa Ryunosuke. Indonesia punya Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, dan Andrea Hirata. Mereka adalah manusia hebat dalam sejarah yang mampu menuliskan berbagai hal yang ada di dunia ini hanya dengan melalui karya-karya yang tidak ternilai harganya.
Dari uraian di atas, jelas bahwa mahasiswa bahasa tidak bisa dianggap remeh begitu saja, mereka adalah pelindung dan penerus utama dari kebudayaan umat manusia. Bahasa tidak cukup hanya dipelajari saja, tetapi juga perlu dilestarikan dan dibanggakan oleh kita sebagai manusia yang merupakan entitas yang dibekali akal untuk berbahasa. Akal imitasi memang bisa berbahasa, tetapi manusia punya keunggulan yang tidak bisa tergantikan oleh mesin, yang tidak lain adalah kemauan untuk memperindah dunia.
Referensi:
Walsh, Brian P. (2025). Mokusatsu Revisited: Kazuo Kawai and Japan’s Response to the Potsdam Declaration. Pacific Historical Review, 94(1), 1–35. Diakses Juli 2025.
Worst Translation Mistake in History. (2023, 24 Juli). Pangeanic Blog. Diakses Juli 2025.