Sampai sekarang saya masih heran sekaligus bingung, mengapa masih banyak sekali pria-pria di luar sana yang menganggap menikah itu enak karena akan dilayani sang istri. Ada yang masakin, menyucikan bajunya, menyucikan piring bekas makan dan minumnya, dan sekedar menyiapkan baju kerjanya. Tidakkah mereka harus memikirkan mahalnya biaya listrik, kebutuhan anak-istri, cicilan sepeda motor, biaya anak sekolah, asuransi kesehatan keluarga, serta kewajiban membuat dapur selalu mengepul? Mereka sesungguhnya berniat mencari istri atau asisten rumah tangga? Kalau memang ingin dilayani model begitu, kenapa tidak memperkerjakan seorang asisten rumah tangga saja? Menurut saya itu jadi solusi terbaik karena istri tak seharusnya menjadi "pesuruhnya" dia tanpa digaji.
Budaya seperti ini justru banyak dilestarikan oleh para orang tua. Mereka dengan bangga meminta putrinya pandai melayani suami. Membuatkan kopi atau teh dan mengambilkan makanan untuk suami dilabel sebagai kewajiban para istri yang tak bisa diganggu gugat. Bagaimana jika sang istri kelelahan setelah mengurus rumah, anak-anaknya, atau mencari tambahan penghasilan lain? Kalau semua hal minta dilayani istri, lalu istri minta dilayani siapa?