Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi influencer
ilustrasi influencer (pexels.com/Ivan Samkov)

Intinya sih...

  • Masyarakat lebih menghargai kedekatan daripada keahlian

  • Era media sosial membuat opini lebih menarik daripada data

  • Keaslian kini lebih penting daripada kebenaran

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Rasanya hampir setiap hari kita melihat orang lebih mengikuti saran influencer ketimbang mendengarkan penjelasan akademisi. Ketika influencer membagikan tips kesehatan, gaya hidup, politik sampai keuangan, banyak yang langsung percaya dan mencoba, bahkan tanpa memeriksa sumbernya. Sementara ketika akademisi bicara hal serupa lewat data dan penelitian, justru tidak banyak yang peduli.

Influencer seolah bisa menemani kamu setiap hari, menyapa lewat video pendek, dan membuatmu merasa seperti mengenal mereka secara pribadi. Akademisi memang belum banyak yang memanfaatkan media sosial dan cenderung lebih aktif berbicara di forum, jurnal, atau media formal. Hal inilah yang jadi beberapa penyebab masyarakat lebih percaya pada influencer. Berikut sejumlah alasan lain yang menarik untuk ditelisik.

1. Masyarakat kini lebih menghargai kedekatan daripada keahlian

ilustrasi influencer (pexels.com/Anna Shvets)

Influencer terasa dekat karena dianggap tampil apa adanya. Mereka makan di tempat biasa, pakai bahasa santai ketika ngobrol, dan membagikan pengalaman yang relatable. Gaya ini menciptakan ilusi kedekatan yang membuat banyak orang merasa, “dia mirip dengan saya”. Akibatnya, kepercayaan terbentuk bukan karena isi pesannya benar, tapi karena si pembawa pesan terasa familiar.

Kesan sebaliknya ditunjukkan oleh akademisi. Mereka bicara lewat tulisan formal, forum diskusi, atau media yang jarang disentuh sampai grass root. Di media sosial, penyampaian fakta lewat gaya akademik semacam itu dianggap kaku. Padahal di balik gaya formal itu ada kredibilitas dan tanggung jawab ilmiah yang diemban. Namun masyarakat seolah tak peduli akan hal tersebut.

2. Era media sosial membuat opini lebih menarik daripada data

ilustrasi profesor (pexels.com/Yan Krukau)

Kita hidup di zaman ketika bentuk lebih penting dari isi. Influencer paham cara memainkan visual, ekspresi, dan gaya penyampaian agar menarik perhatian. Satu video berdurasi satu menit bisa mengalahkan laporan riset setebal seratus halaman yang diteliti bertahun-tahun. Akibatnya, opini yang disampaikan secara meyakinkan sering dianggap fakta, meski sebenarnya tak punya dasar kuat.

Akademisi tak terbiasa bermain di ruang digital semacam itu. Mereka menulis dengan struktur dan bahasa yang menuntut pemahaman bagi pembacanya. Di tengah media sosial yang begitu cepat, penyampaian fakta semacam itu jelas kalah telak. Sedihnya, sebagian masyarakat yang terbiasa dengan scroll and swipe, mereka sama sekali tak punya waktu untuk membaca bacaan panjang apalagi dikemas dalam bentuk buku atau jurnal. Mereka memilih informasi yang mudah dicerna dan dipahami, bahkan jika kebenarannya belum pasti.

3. Keaslian kini lebih penting daripada kebenaran

ilustrasi dosen (pexels.com/Mikhail Nilov)

Kata “otentik” sering dipakai untuk menggambarkan influencer. Publik menilai seseorang jujur hanya karena tampil tanpa filter, padahal kejujuran tak selalu berarti kebenaran. Influencer bisa terlihat tulus sambil menyelipkan promosi berbayar, dan banyak yang tetap percaya karena merasa setidaknya dia jujur atau sependapat dengan suara masyarakat.

Sementara akademisi justru diragukan karena terlalu berhati-hati. Ada kebimbangan saat menyederhanakan data karena takut menyesatkan. Namun di mata publik, sikap itu dianggap bertele-tele. Orang lebih suka kalimat tegas walau belum tentu akurat, dibanding penjelasan panjang yang penuh dengan catatan kaki.

4. Masyarakat sedang kehilangan daya kritis

ilustrasi netizen (pexels.com/Kaboompics .com)

Masalah sebenarnya bukan pada influencer atau akademisi, tapi pada publik yang semakin malas berpikir kritis. Banyak orang hanya mau mendengar yang sesuai dengan keyakinannya. Influencer punya kemampuan untuk itu. Mereka tidak menantang cara berpikir, tapi memperkuat apa yang ingin dipercaya masyarakat.

Akademisi sebaliknya sering menabrak apa yang tak disukai masyarakat padahal apa yang disampaikan adalah fakta berbasis data. Di zaman di mana suara mayoritas dianggap benar, akademisi jadi sosok yang tidak populer. Padahal fungsi mereka justru mengoreksi pandangan yang salah di masyarakat.

5. Media sosial memelihara bias kepercayaan

ilustrasi media sosial (unsplash.com/Aaron Weiss)

Algoritma media sosial memperkuat apa yang ingin kita dengar atau apa yang ingin kita lihat. Ketika kamu menyukai satu konten dari influencer, sistem akan terus menampilkan hal serupa. Lama-kelamaan, kamu hanya melihat dari satu sudut pandang. Akademisi sulit menembus hal itu karena mereka tidak bermain dengan algoritma, mereka bermain dengan fakta.

Akhirnya, kebenaran kalah oleh kenyamanan. Orang merasa tahu banyak karena sering menonton video singkat, padahal pengetahuannya dangkal. Akademisi jelas akan sedikit kesulitan bila harus menyampaikan fakta dalam durasi singkat apalagi hanya dalam belasan detik. Fenomena ini bukan sekadar pergeseran selera, tapi tanda bahwa literasi publik memang menurun.

Kepercayaan terhadap influencer mencerminkan perubahan besar dalam cara masyarakat menilai kebenaran. Sayangnya, perubahan ini membawa konsekuensi serius yakni masyarakat semakin sulit membedakan opini dan fakta. Ketika publik lebih percaya pada mereka daripada suara akademisi, kita sedang memasuki era kemunduran. Akademisi bukan perlu jadi seleb, tapi masyarakat perlu belajar kembali bahwa kebenaran tidak selalu datang dalam bentuk yang menyenangkan layaknya apa yang mereka nikmati dari konten influencer.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team