Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Kepala BNPB, Doni Monardo (Dok. BNPB)
Kepala BNPB, Doni Monardo (Dok. BNPB)

Jakarta, IDN TimesBetter late than sorry.  Lebih baik terlambat daripada menyesal.  Untuk ke sekian kalinya saya menggunakan istilah ini dalam artikel maupun konten media sosial yang saya buat selama masa pandemik virus corona ini. 

Kali ini, di hari ke-11 pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), saya menggunakan kalimat itu lagi, untuk mengomentari pernyataan Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Letnan Jenderal TNI Doni Monardo.

Hari ini, dalam pernyataan persnya, Doni menyampaikan, pemerintah menerapkan pemakaman dengan prosedur penanganan COVID-19 baik bagi jenazah yang positif terjangkit virus ini maupun terhadap pasien dalam pengawasan (PDP) atau suspek.

Doni mengatakan prosedur ini diterapkan untuk mengantisipasi berubahnya status pasien, yang banyak di antaranya belum keluar saat pasien meninggal dunia.

Mantan Komandan Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) itu menyinggung  kasus salah satu pejabat yang meninggal dunia, yang dimakamkan dengan prosedur biasa.  Pejabat itu belum dinyatakan positif virus corona ketika meninggal dunia.  Setelah beberapa hari kemudian, pejabat tersebut dinyatakan positif hasil tesnya.

Mengapa saya katakan lebih baik terlambat daripada menyesal? Karena pandemik ini belum mencapai puncaknya, termasuk di Jakarta dan Indonesia. Sulfikar Amir, profesor madya bidang sosiologi bencana di National Technological University (NTU) Singapura membuat model estimasi jumlah kasus COVID-19 di Jakarta. Jumlahnya sudah mencapai 76.605 orang.

Ilustrasi (Dok. Biro Hukum, Kerja Sama, dan Humas BPPT)

Sebanyak 50 ribu tes PCR baru tiba kemarin, Minggu (19/4). “Kami bersyukur dalam waktu kurang dari 24 jam kami bisa mendapatkan 50 ribu tes PCR untuk deteksi COVID-19,” kata Doni. 

Pemerintah berencana melakukan 10 ribu pemeriksaan setiap hari. Hal yang dilakukan Vietnam sejak Januari 2020, dan dilakukan Korea Selatan sejak Februari 2020.

Ada 19 laboratorium yang ditunjuk untuk pendeteksian COVID-19 di seluruh Indonesia.   Dalam sepekan ke depan, Doni berharap ada 495 ribu bahan untuk pemeriksaan virus jahanam ini.

Pekan lalu Doni mengatakan ada 78 laboratorium yang ditargetkan untuk menguji COVID-19 di seluruh Indonesia.

Jika tes diperbanyak, artinya jumlah yang terdeteksi positif makin banyak. Dan seluruh lini penanganan COVID-19, dari klinik kesehatan komunitas, rumah sakit, rumah sakit rujukan, ruang isolasi sampai pengangkutan ambulans dan pemakaman harus sesuai prosedur tetap (protap) untuk hindari risiko orang, termasuk keluarga dan tenaga medis terpapar virus ini.

Artinya juga, prosedur penanganan semua pasien dengan keluhan penyakit pernafasan, demam ataupun tidak, batuk pilek atau tidak, harusnya menggunakan prosedur COVID-19 pula.  Ini yang dilakukan Taiwan sejak Januari 2020, ketika mengamati wabah merebak di Wuhan, Provinsi Hubei, di Tiongkok.

Sedihnya hal ini, belum dilakukan di negara kita dengan ketat.  Kasus terinfeksinya 46 dokter dan tenaga medis di RS Kariadi Semarang adalah contoh paling anyar dan bikin miris. 

Dokter Zainal Muttaqin, spesialis bedah saraf, menceritakan kepada IDN Times Jateng, bahwa sebenarnya dia tidak dalam posisi merawat pasien COVID-19.

“Pada saat-saat itu kami tidak menyeleksi pasien,” kata Zainal yang juga guru besar fakultas kedokteran itu. Dia dan sejawatnya merawat pasien yang berobat, dan ternyata sebelumnya pernah ke daerah merah, alias yang banyak terdapat pasien yang terinfeksi COVID-19.

Satu orang tenaga medis terinfeksi, satu bagian harus diisolasi dan menjalani tes, yang hasilnya diketahui setelah satu minggu. Ini tergolong cepat, karena jurnalis IDN Times harus menunggu 10 hari untuk mendapatkan hasil uji swab-nya.

Jadi, ada banyak kasus yang didapat dari cerita pasien, keluarga pasien, baik atas kejadian pasien yang akhirnya meninggal maupun pulih, soal lamanya hasil tes. Dan saat penantian itu, pasien kontak dengan banyak pihak, minimal keluarga.

Dalam kasus yang menimpa dokter dan tenaga kesehatan di RS Kariadi, juga didapati fakta bahwa pasien yang menjalani Rapid Test atau PCR Test tidak punya semacam surat keterangan soal hasilnya. SOP bahwa setiap pasien yang datang berobat harus diwawancarai dengan mendalam, belum juga dilakukan secara konsisten. 

Hal seperti ini bisa terjadi di berbagai tempat termasuk di Jakarta.

Saya tidak menyalahkan para dokter dan tenaga kesehatan. Sejak awal ketika saya mewawancarai dokter Mesty Ariotedjo, salah satu dari para ahli yang menyampaikan rekomendasi strategi penanganan COVID-19 ke Presiden, saya mendapatkan cerita bahwa bahkan rumah sakit tidak mendapatkan informasi jelas soal ini, apalagi soal hasil tes.

Ini fakta lain di luar kenyataan pahit juga bahwa rumah sakit termasuk rujukan, alami kekurangan alat pelindung diri (APD), masker dan kelengkapan lain termasuk ventilator.  Teman saya, seorang pemimpin redaksi sebuah media di Jakarta menceritakan kisah sedih ketika kerabatnya berjam-jam harus menunggu tabung oksigen agar bisa diangkut dengan ambulans ke rumah sakit rujukan.  Padahal pasien sudah megap-megap sesak napas dan menunjukkan semua gejala COVID-19.

Jadi, yang disampaikan Doni adalah sebuah kemajuan upaya penanganan pemakaman.  Tapi ini tidak cukup. Harus dibarengi dengan upaya SOP di tingkat rumah sakit saat menangani pasien apapun, terutama yang memiliki keluhan berkaitan dengan pernafasan. Di semua fasilitas kesehatan, tidak hanya rumah sakit rujukan. Bahkan di tingkat klinik komunitas atau pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas).

Hari ini jumlah pasien terinfeksi COVID-19 di Jakarta mencapai 3.033 kasus. Pasien yang meninggal dunia ada 297 kasus, naik dibanding kemarin 292. Data ini tentu berbeda jauh dengan angka pemakaman dengan protap COVID-19 di Jakarta yang sudah tembus 1.000 orang pekan lalu.

Editorial Team

EditorUni Lubis