Sosiolog: Kasus COVID-19 di Jakarta Sebenarnya Mencapai 76.605 Orang

Jakarta, IDN Times - Profesor madya bidang sosiologi bencana pada Nanyang Technological University (NTU), Singapura, Sulfikar Amir melakukan permodelan estimasi jumlah kasus virus corona atau COVID-19 di DKI Jakarta.
Berdasarkan permodelan tersebut muncul angka bahwa kasus COVID-19 di Jakarta sudah mencapai 76.605 orang.
"Kita estimasi mestinya dengan asumsi bahwa perilaku COVID-19 ini universal, artinya mau di New York city, di Singapura, semuanya sama adalah kira-kira jumlah kasusnya sudah seperti ini 76.605," kata dia saat dihubungi IDN Times, Senin (20/4).
1. Sesuaikan data dengan enam kota yang punya karakteristik sama seperti Jakarta

Permodelan ini dilihat dari perilaku manusia dan bagaimana penyebaran penyakit ini difasilitasi oleh perilaku serta respons masyarakat.
Dia dan timnya menggunakan pendekatan proxy method, dengan mengolah data dari orang lain guna melihat apa yang akan terjadi di Jakarta.
Setidaknya ada enam kota yang memiliki karakteristik yang sama dengan Jakarta yang diambil datanya. Enam kota tersebut adalah Ile De France, Daegu, Berlin, Wuhan, NYC dan Barcelona.
"Kita mengambil variabel kepadatan penduduk sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi penyebaran virus corona," kata dia.
2. Jauh lebih tinggi dari angka yang ditampilkan pemerintah

Dari formula yang dibuat ditemukan satu korelasi yang cukup konsisten dari sumbu y yakni infection interval per hari dan sumbu x yaitu adalah populations density per orang per kilometer.
Maka dari itu, muncullah data 76.605 Kasus yang sebenarnya sedang terjadi di Jakarta saat ini. Walaupun bisa dibilang ada sedikit pengaruh iklim sekitar 20 persen menjadi 40.000 Kasus.
"Tapi tetap saja jauh lebih tinggi dibanding angka 2.000 yang sekarang diberikan oleh pemerintah," ujar dia.
3. Data mencakup OTG, ODP, PDP dan positif

Data yang didapatkan dari estimasi infeksi oleh Sulfikar ini mencakup orang-orang yang berada dalam kategori orang dalam pengawasan (ODP), pasien dalam pemantauan (PDP), pasien positif, hingga hanya yang sekadar orang tanpa gejala (OTG).
Data yang diambil juga menyesuaikan dengan 30 hari pertama Kasus COVID-19 masuk ke enam kota tersebut, di mana masih terjadi penyebaran alamiah tanpa intervensi.
"Data range waktunya itu dua sampai tiga minggu pertama pada saat virus nya itu menyebar secara alamiah jadi belum ada intervensi social distancing atau lockdown," ujar dia.
4. Permodelan ini dilihat dari kacamata fenomena sosial COVID-19

Sulfikar menjelaskan pontensi estimasi ini dilakukan dengan melihat COVID-19 melalui kacamata sosiologi.
Karena menurutnya, kasus COVID-19 bisa dilihat dari dua kacamata, yakni fenomena biologis, di mana virus masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan penyakit.
Lalu, dilihat dari kacamata sosiologi. Virus bisa dilihat sebagai fenomena sosial karena penyebarannya difasilitasi oleh interaksi sosial.
"Seluruh tindakan yang dilakukan selama ini sebenarnya adalah solusi sosial, seperti social distancing, lockdown, itu solusi sosial," kata dia.