Ramadan Berselimut Duka: Antara Musibah dan Anugerah

Ramadan sedah semestinya menjadi momen paling spesial bagi semua umat muslim di seluruh penjuru dunia. Bulan suci Ramadan selalu menjadi momentum bagi umat muslim untuk berlomba-lomba meningkatkan ibadah, berbuat kebaikan, serta melakukan refleksi diri. Di bulan yang penuh ampunan ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk berlomba-lomba meraih keberkahan dan mingkatkan ketakwaan.
Akan tetapi, pengalaman Ramadan kali ini bisa dibilang cukup berat bagiku. Ada beberapa cerita duka yang mewarnai Ramadanku kali ini. Cukup rumit untuk aku utarakan, karena seperti mengorek sebuah luka di dada yang masih belum sembuh. Meski begitu, akan aku coba ceritakan melalui cerita Ramadanku kali ini. Siapa tahu, ini juga bisa jadi sarana bagiku untuk merefleksikan diri.
1. Melewati Ramadan yang kelabu di rumah sakit
Bukan aku yang jatuh sakit, melainkan adalah bapakku sendiri. Tak pernah terbayangkan bahwa aku harus melewatkan hampir separuh Ramadan tahun ini di rumah sakit. Bapakku yang selama ini kami kenal sebagai sosok gagah dan sehat, tiba-tiba jatuh sakit dan harus dioperasi.
Suatu hari, di minggu kedua bulan Ramadan, Bapak mengeluh di area perut bagian belakang terasa sakit. Ia mengira sakit batu ginjalnya kambuh. Aku sudah berniat untuk membawanya ke rumah sakit. Namun, belum sempat aku bersiap-siap Bapak jatuh pingsan duluan dan aku harus lari terbirit-birit meminta pertolongan pada tentangga untuk membantu membopong bapak dan mengantarkannya ke IGD.
Setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata dokter mengatakan bahwa terdapat gumpalan darah serta pendarahan di dalam perut. Bapak memang punya riwayat pernah terjatuh dari tangga saat memperbaiki atap rumah sekitar 3 bulan sebelumnya. Melihat kondisi tersebut, dokter memutuskan untuk segera melakukan operasi bedah perut.
Lebih dari satu minggu bapak dirawat di rumah sakit. Melihat wajah bapak yang penuh rasa cemas dan harus menahan rasa sakit yang begitu hebat tentu saja membuat hatiku teriris. Aku masih ingat bagaimana suasana mencekam saat aku harus menunggu di luar ruang operasi, dan ketika aku menemui bapak untuk pertama kalinya setelah operasi di ruang ICU. Itu adalah hari-hari paling kelabu yang aku hadapi di bulan Ramadan ini.
Rumah sakit seolah menjadi rumah keduaku. Ada rasa gusar dan kecewa di dalam hati. Sejujurnya aku rindu berbuka puasa dan sahur bersama bapak di rumah. Tapi kali ini justru aku harus banyak menjalani ibadah puasa di rumah sakit serta dirundung suasana yang kelabu. Dalam hati aku tak rela kehilangan momen hangat yang biasanya aku dapatkan bersama bapak di bulan Ramadan.