Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Gambar otak (unsplash.com/@fakurian)
Gambar otak (unsplash.com/@fakurian)

Intinya sih...

  • Eksperimen Schrödinger's Cat membahas misteri mekanika kuantum dan superposisi, mempengaruhi teknologi komputer kuantum.
  • Brain in A Vat mengeksplorasi hipotesis simulasi realitas yang relevan dengan perkembangan teknologi virtual dan kecerdasan buatan.
  • Trolley Problem menguji dilema moral dalam pengambilan keputusan ekstrem, berdampak pada pengembangan kecerdasan buatan dan etika penelitian.

Eksperimen yang kita ketahui seringkali berkutat tentang hal-hal fisik yang masih dapat kita lihat. Misalnya, eksperimen dalam mencari vaksin ataupun rekayasa genetika dalam makanan, meski memerlukan alat khusus seperti mikroskop, tetapi seluruh eksperimen tersebut masih dapat dilihat bentuk materinya.

Meski begitu, dalam sejarah filsafat dan sains, eksperimen pikiran telah digunakan untuk mengeksplorasi konsep-konsep abstrak yang sulit diuji dalam dunia nyata. Dari pertanyaan tentang realitas hingga dilema kode etik, eksperimen-eksperimen ini telah memberikan wawasan mendalam tentang cara manusia memahami dunia. Berikut adalah empat eksperimen pikiran paling terkenal yang masih menjadi bahan diskusi hingga saat ini dan telah mempengaruhi perkembangan teknologi dan sains modern. 

1. Kucing Schrodinger, hidup dan mati secara bersamaan

Kucing Schrödinger (commons.wikimedia.org/ADA dan Neagoe)

Diperkenalkan oleh fisikawan Erwin Schrödinger pada tahun 1935, eksperimen ini digunakan untuk mengkritisi interpretasi Kopenhagen dalam mekanika kuantum. Ia menggambarkan seekor kucing yang ditempatkan dalam kotak tertutup bersama mekanisme berbasis peluruhan atom yang dapat membunuhnya kapan pun, secara acak. Menurut prinsip kuantum, kucing berada dalam keadaan superposisi, yaitu hidup dan mati secara bersamaan. Eksperimen ini bertujuan menunjukkan betapa aneh dan banyaknya misteri yang tersimpan di balik dunia kuantum dibandingkan dengan dunia kita sehari-hari. 

Dalam skala atom, sebuah partikel dapat berada di beberapa keadaan sekaligus, sementara dalam dunia makroskopik, benda tampak memiliki satu keadaan yang pasti. Konsep ini kemudian menjadi dasar bagi teknologi seperti komputer kuantum yang memanfaatkan superposisi untuk mengembangkan kapasitas pemrosesan data. Eksperimen ini juga memicu perdebatan filosofis tentang peran pengamat dalam menentukan realitas. Hingga kini, Kucing Schrödinger tetap menjadi ikon dalam diskusi tentang elemen fundamental dari alam semesta yang penuh misteri. 

2. Brain in a Vat, menjawab apakah realitas itu nyata?

gambar otak manusia (unsplash.com/@aresbuddhi)

Brain in A Vat merupakan sebuah pengembangan dari skeptisisme filosofis yang pertama kali diperkenalkan oleh René Descartes dalam Meditations on First Philosophy. Eksperimen ini mencoba merekayasa situasi di mana otak manusia dicabut dari tubuhnya dan diletakkan dalam tangki berisi cairan nutrisi, lalu dihubungkan dengan sistem komputer yang mensimulasikan realitas. Jika otak menerima rangsangan yang sama seperti saat masih di dalam tubuh, bagaimana kita bisa yakin bahwa kita tidak sedang hidup dalam simulasi?

Hipotesis ini telah menginspirasi berbagai teori modern, termasuk hipotesis simulasi dari Nick Bostrom. Konsep ini juga pernah hadir di film populer, The Matrix yang menceritakan dunia virtual sebagai kenyataan semu yang diciptakan oleh sebuah kecerdasan buatan. Hingga hari ini ketika era teknologi terus mengembangkan realitas virtual dan kecerdasan buatan, eksperimen Brain in A Vat ini semakin relevan. Pada akhirnya eksperimen ini terus menantang asumsi dan kesadaran kita tentang apakah arti realitas bagi kita saat ini. 

3. Trolley problem, dilema etika di rel kereta

trolley problem (commons.wikimedia.org/McGeddon)

Pada tahun 1967, seorang filsuf bernama Philippa Foot pertama kali memperkenalkan eksperimen Trolley Problem. Eksperimen ini menjadi salah satu dilema moral paling terkenal dalam etika penelitian modern. Coba kamu bayangkan sebuah kereta melaju tanpa kendali menuju lima orang yang terikat di jalur rel. Kamu diberikan pilihan untuk menarik tuas agar kereta berbelok ke jalur lain, tetapi di sana juga sudah ada satu orang yang terikat. Dilemanya adalah apakah kamu akan menarik tuas dan mengorbankan satu orang untuk menyelamatkan lima orang lainnya?

Eksperimen ini sering digunakan untuk menganalisis cara manusia untuk membuat keputusan dalam situasi dan kondisi ekstrem. Dilema ini juga dijadikan bahan studi dalam pengembangan kecerdasan buatan, terutama dalam pemrograman mobil otonom. Contohnya dalam hal pengambilan keputusan siapa yang harus diselamatkan dalam situasi darurat. Selain itu, Trolley Problem juga mengungkapkan bagaimana manusia memiliki kecenderungan untuk mencari solusi yang paling minim menyebabkan penderitaan. Namun, meski begitu pengambilan keputusan dalam dilema ini sering kali subjektif dan bergantung pada perspektif individu. 

4. Kapal Theseus, mengungkap identitas asli dan perubahan yang terjadi

Patung manusia dan bagian otaknya (unsplash.com/@davidmatos)

Eksperimen kapal Theseus atau The Ship of Theseus The Ship of Theseus ini berasal dari filsafat Yunani kuno dan pertama kali dikisahkan oleh Plutarch. Bayangkan sebuah kapal milik pahlawan mitologi Theseus yang setiap bagiannya diganti satu per satu dengan bagian baru. Pada titik tertentu, tidak ada satu pun bagian asli yang tersisa, meski begitu kapal itu masih disebut sebagai kapal Theseus. Pertanyaannya, apakah kapal ini masih kapal yang sama, atau merupakan kapal yang benar-benar baru?

Dari ilmu filsafat hingga sains dan teknologi, eksperimen ini sering dikaitkan dengan konsep sebuah identitas. Dalam dunia modern, konsep ini relevan dengan restorasi benda-benda kuno. Tentang apakah sesuatu yang sudah direstorasi tetap memiliki esensi yang sama meskipun telah berubah total? Jauh lebih fundamental lagi, konsep ini juga bisa diterapkan dalam kehidupan manusia, apakah kita masih menjadi diri kita yang sama meskipun tubuh dan pikiran kita terus berubah seiring waktu? The Ship of Theseus  mengajarkan bahwa identitas bukan hanya soal bentuk fisik, tetapi juga sebuah makna yang melekat pada sesuatu. 

Eksperimen pikiran tidak hanya memperluas wawasan kita tentang realitas, moralitas, dan identitas, tetapi juga mendorong ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan terus menggali pertanyaan-pertanyaan yang fundamental dan radikal, manusia akan semakin memahami batas-batas dan kemungkinan yang ada di dalam kehidupan. Sehingga walaupun eksperimen ini hanya ada dalam ranah pemikiran dan filsafat, namun dampaknya tetap ada di berbagai aspek nyata dalam kehidupan kita.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team