Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
potret patung Aristoteles
potret patung Aristoteles (pexels.com/Bilge Karagülle)

Intinya sih...

  • Alam semesta hanya terdiri dari empat elemen dasar, yaitu tanah, air, udara, dan api. Teori ini menjadi landasan ilmu kimia selama berabad-abad, tetapi sains modern membuktikan teori ini salah besar.

  • Bumi menjadi pusat dari seluruh alam semesta menurut Aristoteles. Namun, model heliosentris yang mengubah pandangan kita tentang posisi Bumi di alam semesta dibuktikan secara matematis oleh Johannes Kepler dan Galileo Galilei.

  • Makhluk hidup bisa muncul begitu saja dari benda mati menurut Aristoteles. Namun, teori generatio spontanea akhirnya tumbang setelah serangkaian eksperimen cerdas oleh ilmuwan seperti Francesco Redi dan Louis Pasteur.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Saat mendengar nama Aristoteles, kita langsung membayangkan sosok filsuf agung dari Yunani Kuno yang pemikirannya menjadi fondasi peradaban Barat. Ia adalah guru dari Alexander Agung dan murid dari Plato. Selama hidupnya, ia menulis tentang logika, etika, politik, hingga ilmu alam, yang karyanya menjadi rujukan utama selama hampir dua milenium. Kontribusinya begitu besar, sehingga banyak orang menganggap pemikirannya adalah kebenaran mutlak.

Namun, di balik kejeniusannya, Aristoteles juga seorang manusia yang tak luput dari kesalahan, terutama dalam bidang sains. Dengan keterbatasan teknologi dan metode observasi pada zamannya, banyak teori sains yang ia kemukakan ternyata keliru total. Ironisnya, karena pengaruhnya yang begitu kuat, kekeliruan ini justru dipercaya dan diajarkan selama ribuan tahun, bahkan menghambat kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri.

1. Alam semesta hanya terdiri dari empat elemen dasar

ilustrasi api kompor (pexels.com/Magda Ehlers)

Bayangkan dunia di sekitarmu, mulai dari air yang kamu minum hingga udara yang kamu hirup, semuanya berasal dari empat unsur saja. Aristoteles percaya bahwa segala sesuatu di Bumi tersusun dari kombinasi empat elemen fundamental: tanah, air, udara, dan api. Teori ini terdengar masuk akal pada masanya. Ia mengamati sebatang kayu basah yang dibakar akan mengeluarkan api (elemen api), asap (elemen udara), getah (elemen air), dan menyisakan abu (elemen tanah).

Dilansir dari McGill University, teori ini menjadi landasan ilmu kimia selama berabad-abad. Para alkemis di Abad Pertengahan bahkan mencoba mengubah logam biasa menjadi emas dengan memanipulasi keempat elemen ini. Namun, sains modern membuktikan teori ini salah besar. Kini kita tahu bahwa materi tersusun dari atom-atom yang jauh lebih kompleks, seperti yang tercantum dalam tabel periodik. Teori empat elemen adalah penyederhanaan yang terlalu jauh dari kenyataan.

2. Bumi menjadi pusat dari seluruh alam semesta

ilustrasi planet Bumi (pexels.com/Pixabay)

Pernahkah kamu menatap langit malam dan melihat bintang serta bulan seolah bergerak mengelilingi kita? Berdasarkan pengamatan sederhana itu, Aristoteles menyimpulkan bahwa Bumi adalah pusat alam semesta. Dalam model geosentris ini, Matahari, Bulan, planet, dan bintang-bintang berputar mengelilingi Bumi yang diam tak bergerak. Pandangan ini terasa sangat intuitif dan egois, menempatkan manusia sebagai pusat dari segalanya.

Gagasan ini bertahan selama lebih dari 1.500 tahun dan bahkan didukung oleh lembaga keagamaan pada masanya. Namun, seperti yang diulas The Collector, revolusi ilmiah membongkar kekeliruan ini. Pada abad ke-16, Nicolaus Copernicus mengusulkan model heliosentris, di mana Matahari-lah yang menjadi pusat tata surya. Teori ini kemudian dibuktikan secara matematis oleh Johannes Kepler dan melalui pengamatan teleskop oleh Galileo Galilei, mengubah cara kita memandang posisi kita di alam semesta untuk selamanya.

3. Makhluk hidup bisa muncul begitu saja dari benda mati

cacing tanah (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Bagaimana cacing bisa muncul di daging busuk atau tikus tiba-tiba ada di tumpukan jerami? Aristoteles punya jawaban yang cukup aneh: mereka muncul begitu saja. Teori ini dikenal sebagai generatio spontanea atau generasi spontan. Menurutnya, kehidupan bisa muncul dari materi tak hidup jika kondisi lingkungannya mendukung. Misalnya, serangga muncul dari embun, dan belut lahir dari lumpur di dasar sungai.

Ide ini terdengar seperti cerita fantasi, tetapi dipercaya secara luas hingga abad ke-19. Dikutip dari McGill University, teori ini akhirnya tumbang setelah serangkaian eksperimen cerdas oleh ilmuwan seperti Francesco Redi dan Louis Pasteur. Mereka membuktikan bahwa kehidupan hanya bisa berasal dari kehidupan yang sudah ada sebelumnya. Cacing di daging busuk berasal dari telur lalat, bukan muncul secara magis dari ketiadaan.

4. Benda berat jatuh lebih cepat daripada benda ringan

ilustrasi es krim jatuh ke lantai (pexels.com/Polina Tankilevitch)

Jika kamu menjatuhkan bola bowling dan sehelai bulu dari ketinggian yang sama, mana yang akan sampai ke tanah lebih dulu? Jawaban intuitif kita pasti bola bowling. Aristoteles pun berpikir demikian. Ia berteori bahwa kecepatan jatuhnya sebuah benda sebanding dengan beratnya. Artinya, benda yang 10 kali lebih berat akan jatuh 10 kali lebih cepat. Secara logika sederhana, teori ini terasa benar.

Namun, Galileo Galilei membuktikan bahwa logika Aristoteles di sini keliru. Lewat eksperimennya yang legendaris (meski kebenarannya masih diperdebatkan, konon dilakukan di Menara Pisa), Galileo menunjukkan bahwa semua benda, terlepas dari massanya, akan jatuh dengan percepatan yang sama jika tidak ada hambatan udara. Dilansir dari blog KiwiHellenist, kesalahan Aristoteles ini menunjukkan kelemahan metodenya yang lebih mengandalkan logika deduktif daripada eksperimen empiris.

5. Perempuan memiliki lebih sedikit gigi daripada laki-laki

ilustrasi gigi perempuan (pexels.com/Pixabay)

Ini mungkin salah satu kekeliruan Aristoteles yang paling aneh dan mudah untuk dibantah. Dalam tulisan-tulisannya tentang biologi, ia dengan percaya diri menyatakan bahwa jumlah gigi perempuan lebih sedikit daripada laki-laki. Ia juga membuat klaim keliru lainnya, seperti meyakini bahwa fungsi paru-paru adalah untuk mendinginkan tubuh dengan mengedarkan udara, layaknya sebuah peniup.

Kesalahan ini, seperti yang disorot oleh filsuf Bertrand Russell, menunjukkan betapa Aristoteles terkadang gagal melakukan langkah paling dasar dalam sains: observasi langsung. Alih-alih menghitung jumlah gigi istrinya sendiri untuk memverifikasi teorinya, ia lebih memilih penalaran filosofis. Hal ini menjadi pelajaran berharga bahwa dalam sains, pengamatan dan pembuktian jauh lebih penting daripada asumsi yang didasarkan pada logika semata.

Meskipun banyak teorinya yang keliru, kita tidak bisa menampik jasa besar Aristoteles dalam meletakkan dasar-dasar pemikiran logis dan sistematis. Kesalahannya justru menjadi pengingat bahwa sains adalah proses perbaikan diri yang terus-menerus, di mana setiap teori harus selalu siap untuk diuji, dikoreksi, bahkan digantikan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team