Sama dengan Carok, Siri Ripakasiri juga merupakan budaya yang dilakukan dengan melakukan kekerasan hingga pembunuhan. Budaya ini berkembang di kalangan masyarakat adat Makassar.
Siri ripakasiri memiliki arti perasaan malu dari seseorang karena martabatnya telah direndahkan oleh orang lain. Dalam masyarakat adat Makassar, seseorang yang merasa martabatnya telah direndahkan diharuskan untuk mengembalikan harga dirinya.
Martabat tersebut hanya bisa diperbaiki dengan membunuh orang yang merendahkan harga dirinya. Menurut nilai yang berlaku di masyarakat, seseorang yang telah kehilangan 'siri' (harga diri) tidak lagi dapat dipandang sebagai manusia. Ia dianggap sama rendahnya dengan binatang. Sistem nilai ini memandang lebih baik mati daripada hidup tanpa harga diri dengan memperjuangkan Siri.
Siri Ripakasiri tidak hanya dirasakan oleh pihak yang merasa telah direndahkan harga dirinya, tetapi juga oleh seluruh keluarganya. Hal ini mengakibatkan 'siri' tidak hanya menjadi kewajiban satu pihak saja melainkan semua anggota keluarga.
Pelaksanaan 'Siri ripakasiri' dapat dilaksanakan kapan saja dan di mana saja meskipun permasalahan antara korban dan pelaku sudah terjadi di masa lalu. Bagi masyarakat adat Makassar, budaya ini bukanlah bentuk balas dendam melainkan kewajiban moral adat yang harus dipatuhi.
Kasus 'siri ripakasiri' yang terjadi di Makassar seringkali disebabkan kasus kawin lari yang tidak mendapatkan persetujuan dari orang tua pihak perempuan. Selain masalah kawin lari faktor kasus pembunuhan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual juga mendorong seseorang melakukan 'siri ripakasiri'.
Dalam perkembangannya saat ini, 'siri ripakasiri' juga dapat mencakup insiden apa pun yang dianggap memalukan, meskipun terlihat sepele. Misalnya memegang kepala orang lain tanpa persetujuan.
Praktik Siri Ripakasiri dilakukan dengan mendatangkan kedua perwakilan keluarga yang bertikai. Kedua pihak yang berartikan akan dipasangkan dalam satu sarung dan masing-masing diberikan senjata Badik. Hal ini membuat pihak yang bertikai memiliki sedikit ruang untuk menghindar dari serangan musuh. Konon, tradisi ini banyak terjadi di masa lalu akibat harga diri sebuah keluarga merasa terinjak sedangkan kedua keluarga yang bertikai merasa benar.