Ilustrasi gas air mata yang digunakan polisi di Indonesia saat aksi demo (unsplash.com/Iqro Rinaldi)
Meski dikategorikan non-lethal weapon, faktanya gas air mata bisa mematikan. Menurut laporan Annals of the New York Academy of Sciences, paparan berlebihan di ruang tertutup dapat menyebabkan gagal napas, serangan jantung, hingga kematian.
Kasus paling ekstrem tiga tahun silam terjadi di Indonesia, saat Tragedi Kanjuruhan 2022. Polisi menembakkan gas air mata ke tribune stadion yang penuh penonton. Akibatnya, 135 orang meninggal karena sesak napas, terinjak-injak, dan panik massal. Tragedi ini dicatat media internasional seperti The Guardian sebagai salah satu insiden stadion paling mematikan dalam sejarah.
Dari Bahrain, Mesir, Turki, Korea Selatan, hingga Indonesia, satu pelajaran yang sama muncul—gas air mata bukan sekadar “air yang bikin menangis,” melainkan senjata kimia yang bisa merenggut nyawa.
Gas air mata mungkin diklaim sebagai “senjata paling manusiawi” dalam mengendalikan kerumunan. Namun, sejarah menunjukkan sebaliknya. Dari perang dunia, demonstrasi hak sipil, hingga tragedi stadion, senjata ini meninggalkan jejak darah dan air mata.
Kini, pertanyaannya adalah sampai kapan gas air mata akan tetap dianggap wajar? Apakah negara-negara akan terus menggunakannya sebagai tameng kekuasaan? Atau dunia akhirnya berani mengaku bahwa senjata kimia, dengan segala bentuknya, tidak pernah benar-benar “aman”?