potret protes anti kekerasan pada perempuan di Afrika Selatan (enca.com)
Femisida jadi masalah kompleks di banyak negara. Banyak kasus yang tidak terdeteksi, tidak dipermasalahkan, atau dimasukkan dalam kategori selain femisida. Honor killings sering tidak ditindaklanjuti. Bahkan di Eropa misalnya, kasus-kasus seperti ini sering dikategorikan sebagai cultural killings.
Begitu pula di Turki. Merujuk pada liputan DW, banyak kasus femisida di negara itu yang disamarkan sebagai bunuh diri atau penyebab kematian lainnya. Masih banyak pula negara yang belum memiliki statistik khusus tentang femisida, termasuk Indonesia.
Sejauh ini, belum banyak negara yang punya regulasi atau konstitusi khusus tentang femisida. Beberapa negara maju dan Amerika Latin sudah mulai membuatnya karena angka kasus yang terus naik. El Salvador, sebagai contoh, sudah memasukan definisi khusus tentang femisida dalam UU mereka. Bahkan, kasus bunuh diri perempuan yang terjadi akibat kekerasan yang bertubi-tubi pun sudah bisa dikategorikan sebagai femisida di sana.
Namun, penegakan hukum di negara tersebut masih terkendala adanya impunitas yang terwujud karena kebanyakan pelaku bisa melakukan pemerasan dan pengancaman pada petugas berwenang. Belum lagi budaya patriarki yang dianggap normal hingga mengabaikan hak dan keamanan bagi perempuan. Tak heran jika akhirnya banyak pencari suaka di Amerika Serikat yang merupakan perempuan asal El Salvador.
Jika negara yang sudah mengakui istilah femisida saja masih belum bisa menuntaskan masalah ini, apa kabar negara yang sama sekali belum mengakuinya?